Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi sorotan publik sebagai buntut dari kemelut Jiwasraya, ASABRI, dan Bumiputera 1912. Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra) yang juga Ketua Komisi XI DPR menjadi salah satu pelopor untuk mengevaluasi OJK. Hari ini, 23 Januari 2020, Komisi XI menggelar rapat tertutup membahas institusi OJK. Hal senada juga disampaikan oleh pengamat asuransi Irvan Rahardjo. Menurut Mas Ivan OJK gagal melakukan pengawasan terhadap industri asuransi Indonesia dan selain itu OJK tidak meberikan kontribusi pada pertumbuhan industri asuransi di Indonesia secara umum. Untuk itu, Mas Irvan sangat setuju jika OJK dibubarkan. Hal serupa pernah disuarakan oleh Revki Maraktifa sekitar satu tahun yang lalu. Ia menginisiasi bubarkan OJK via petisi change.org. Desakan untuk membubarkan OJK juga sebetulnya mulai muncul di tahun 2014.
Pendapat yang lebih lunak disampaikan oleh ekonom Indef, Aviliani. Menurutnya yang perlu dikerjakan sekarang adalah mempebaiki sistem dan pola pengawasan OJK. Pendapat Bu Aviliani ini kurang lebih sama dengan semangat makalah ini.
Kemarin 28 Januari 2020, OJK menyatakan bahwa pihak yang paling bertanggungjawab atas sangkarut Jiwasraya adalah Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan CEO Jiwasraya sendiri. Lebih lanjut dikatakannya bahwa OJK hanya pengawas dalam ring 3. Pertnyaannya sekarang untuk apa saja regulasi-regulasi yang dibuat oleh OJK jika regulasi itu tidak pernah diterapkan.Â
Kita semuanya sudah mendengar akan kemelut Jiwasraya dan potensi ambruknya ASABRI. Masing-masing kasus tersebut diperkirakan mengandung unsur penipuan, korupsi dan/atau kelalaian. Beberapa orang sudah diperiksa dan masuk tahanan Kejaksaan Agung untuk kasus Jiwasraya. Estimasi kekurangan RBC Jiwasraya mencapai 32 triliun Rupiah dan 12 triliun rupiah untuk ASABRI.
Presiden Jokwoi memerintahkan Menteri Keuangan Sri Muljani Indrawati dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk menyelesaikan kedua kasus yang sangat menghebohkan ini.
Kedua menteri KIP ini ditugaskan untuk menangani unsur bisnis dan korporasi kedua perusahaan asuransi plat merah itu. Sedangkan dugaan kasus penipuan, korupsi, serta hukum secara lebih umum diserahkan ke pihak Kejaksaan Agung.Â
Ironisnya, Jokowi gagal paham dan/atau lalai pada satu hal besar yang lain. Beliau belum bersuara tentang satu instansi pemerintah lain yang perlu juga bertanggungjawab yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jokowi tidak bereaksi atas berbagai analisis dan fakta yang disampaikan oleh beberapa ekonom dan/atau praktisi yang menyatakan bahwa OJK tidak menjalankan fungsinya secara baik. Â
OkeFinance, misalnya, tayang hasil analisis Pengamat Asuransi, Irvan Rahardjo. Disini Mas Irvan mengatakan bahwa dalam kasus Jiwasraya OJK terlihat lebih pasif dibandingkan institusi lainnya.
Selain itu ada unsur konflik kepentingan dan rent seeking di tubuh OJK. Kutipan pendapat Irvan yang tayang di OkeFInance itu adalah:
"Sarat kepentingan dan benturan kepentingan antara melindungi pelaku industri dengan melindungi nasabah. OJK ikut main ( rent seeking - kasus Bumiputera), karena OJK memungut iuran dari pelaku industri..... OJK lemah dalam pengawasan. Tidak menegakkan aturan yang dibuat sendiri. Saya pernah sebut OJK highly regulated tapi very less supervisory. Dan itu diamini oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dengan kata-kata regulatory supervisory gap."Â
Regulatory supervisory gap itu maksudnya OJK banyak sekali atau bahkan terlalu banyak menerbitkan regulasi tetapi regulasi itu tidak dilaksanakan. Dengan kata lain, regulasi-regulasi itu dicuekin saja oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan OJK tidak melakukan apa-apa karena OJK perlu menarik iuran dari perusahaan-perusahaan termaksud. Selain itu, menurut Mas Irvan ada bahkan mungkin banyak perilaku moral hazard di tubuh OJK.
Moral hazard sendiri adalah tindakan sepihak dari suatu agen ekonomi termasuk OJK yang tidak dapat dipantau oleh pihak-pihak pemberi mandat atau amanah atau tugas. Ini dapat mencakup kegiatan korupsi, gratifikasi, sogok, dan lain sebagainya.