Kontroversi ekspor benih lobster atau benur terus berlanjut. Narasi-narasi Pros dan Kons atas kebijakan Menteri KKP Edhy Prabawo untuk membuka keran ekspor benur itu terus berlanjut. Misalnya, Bu Susi menentang keras sebaliknya Jokowi membela dengan syarat-syarat. Â Selanjutnya, Luhut Pandjaitan mendukung tetapi ekonom kondang Indef Faisal Basri menyatakan ada mafia dibalik rencana untuk menghidupkan kembali izin ekspor benur lobster itu.Â
Suara penolakan yang keras juga dikeluarkan oleh  Perwakilan nelayan dari Lombok, Amin Abdullah, yang berpendapat bahwa kebijakan ekspor benih lobster dapat mengganggu habitat dan membuat stok lobster di dalam negeri menipis. Suara penolakan yang lain datang dari peneliti ekonomi kelautan Suhana, yang menurutnya jika pemerintah kembali membuka ekspor benih lobster ke Vietnam itu identik dengan membiarkan ancaman atas habitat lobster dalam negeri.
Menteri Edhy tidak bergeming. DPP Partai Gerindra ini mengatakan bahwa masyarakat yang hidupnya hanya tergantung dari pekerjaan nangkap benih lobster perlu dilindungi. Selain itu, Wong kito ini mengatakan bahwa pembukaan keran ekspor itu juga penting karena terbatasnya infrastruktur budi daya lobster dalam negeri. Juga, Kang Edhy mengatakan benur Indonesia diselundupkan ke Singapura dan kemudian dijual ke Vietnam.
Beberapa argumen mantan Menteri KKP, Susi Pudji Astuti, misalnya mengatakan bahwa habitat terbaik benur adalah alam bebas laut lepas. Disini mereka besar lebih cepat dan beranak pinak terus menerus berkelanjutan sehingga lobster akan terus ada dan banyak untuk kesejahteraan nelayan.Â
Lebih jauh ditambahkannya bahwa jika keran ekspor dibuka ini akan menyebabkan terjadinya gelombang besar-besaran  eksploitasi benur sehingga jumlahnya semakin turun dan harga jualnya semakin tak terjangkau. Disisi lain, lanjutnya pendapatan nelayan lobster juga terus menurun seiring dengan minimnya jumlah lobster yang tersedia.
Sekarang saja lanjut mantan Menteri Kabinet Jokowi Jilid 1 ini penghasilan nelayan lobster sudah demikian minimnya yaitu tinggal puluhan juta rupiah dalam empat bulanan musim panen lobster. Sebelumnya, lanjut mantan menteri favorit netizen ini, mereka itu dapat membawa pulang uang ratusan juta rupiah dalam musim panen empat bulanan tersebut.Â
Semua itu menurut pemilik maskapai penerbangan Susy Air ini bersumber dari harga lobster terus naik karena jumlahnya terus turun dengan lebih cepat. Lebih jauh Bu Susy yang sering melawan Pak Luhut ini mengatakan bahwa Pasar Jepang kalah, harga lobster hidup makin mahal yang disebabkan modus pengambilan bibit besar-besaran menyebar di wilayah Selatan Jawa dan Barat Sumatera.
Dalam kaitannya dengan penyelundupan benur, Bu Susy yang sekarang hidup di alam bebas, mengatakan itu bukan hal yang baru. Mungkin maksudnya sudah kronis sebelum Beliau menjabat sebagai Menteri KKP dan terus berlanjut hingga saat ini sehingga penyelundupan benur itu seolah-olah menjadi praktik legal.
Jokowi mengambil jalan tengah. Jalan kompromi antara pihak-pihak yang berseteru. Ini pendapat Jokowi ketika meresmikan Jalan Tol Balik Papan - Samarinda, 17 Desember kemarin, seperti dikutip oleh Kompas.com:
"Yang paling penting, menurut saya, negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat, lingkungan tidak rusak.....Jangan juga awur-awuran, semua ditangkapin, diekspor, juga enggak benar. ...Keseimbangan itu paling penting, bukan hanya bilang jangan (ekspor)......Saya kira pakar-pakarnya tahulah mengenai bagaimana tetap menjaga lingkungan, agar lobster itu tidak diselundupkan, tidak dieskpor secara awur-awuran, tapi juga nelayan dapat manfaat dari sana, nilai tambah ada di negara kita."Â
 Sekarang saatnya kita mulai berdiskusi. Kita mulai dulu dengan quote populer public policy  "One Policy Does Not Fit All."  Maksudnya satu kebijakan pemerintah sulit, atau, mustahil untuk mengakomodasi semua kepentingan. Untuk itu perlu diterbitkan kebijakan lain yang mendukung kebijakan itu.Â
Kita mulai dulu dengan isu penyelundupan. Baik Bu Susy, Kang Edhy, dan Mas Jokowi sendiri mengakui bahwa penyelundupan itu memang nyata walaupun mereka bertiga tidak menjelaskan seberapa kronis dan parahnya itu. Dengan demikian, ada atau tidak adanya kebijakan pembukaan keran ekspor benur penyelundupan itu akan terus berlanjut.Â
Pengendalian penyeludupan itu adalah tugas Kementerian Keuangan dengan eksekutor Ditjen Bea Dan Cukai. Tinggal perintahkan saja Bu Sri Mulyani untuk menangani hal ini dan tidak perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk tetap tutup atau buka keran ekspor benur.
Sekarang yang lebih seronok lagi adalah narasi Mas Jokowi:
"Saya kira pakar-pakarnya tahulah mengenai bagaimana tetap menjaga lingkungan, ....., tidak dieskpor secara awur-awuran, tapi juga nelayan dapat manfaat dari sana, nilai tambah ada di negara kita."
Semua ekonom akan menterjemahkan narasi Presiden RI yang sangat kharismatik ini sebagai kebijakan hambatan perdagangan. Perdagangan yang semula bebas bergerak ke arah harga yang lebih tinggi kini dibatasi. Pembatasnya bisa dengan izin dan/atau kuota ekspor bisa juga dengan tarif. Sebagai contoh, perang dagang USA - Cina yang lagi seru-serunya menggunakan mekanisme tarif sebab negara-negara itu paham sekali bahwa mekanisme izin dan/atau kuota impor sangat ribut ngurusnya dan yang lebih buruk lagi membuka pintu lebar-lebar bagi para pemburu rente.
Kebijakan hambatan perdagangan versi Jokowi diatas yang baik untuk petani, pedagang, pengusaha, konsumen serta bukan saja tidak membebani keuangan negara tetapi bahkan mengisi pundi-pundi kas negara seharusnya adalah kebijakan HAMBATAN TARIF. Hambatan bukan tarif sebaliknya, hanya membuka pintu bagi para pemburu rente yang dalam bahasa netizen adalah mafia.
Sayangnya Pakde Jokowi terus nembang wae tetapi sejauh ini baik sadar maupun tidak sadar telah gagal total dalam pelaksanaannya. Lihat saja demikian meluasnya dan terus berlanjutnya kasus impor pangan dengan pola kuota impor yang merugikan konsumen, petani, pengusaha, dan negara tetapi hanya menggembulkan kantong segelintir pemburu rente tanpa menghiraukan derasnya kritikan yang bukan saja disuarakan oleh para ekonom tetapi juga oleh Menteri Kabinet Jokowi sendiri dan beberapa mantan Menteri Kabinet SBY.Â
Lihat saja misalnya kasus terkini dari busuk-nya ribuan ton beras di gudang Bulog. Ingat juga belum lama ini dengan kasus  OTT KPK atas Direksi Perindo yang menerima gratifikasi atas izin impor ikan salem.Â
Deretan kasus hukum para pemburu rente impor pangan ini panjang sekali. Ini mencakup mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, dengan kasus impor gula, Â beberapa orang Dirut Bulog dengan kasus impor beras, yang mungkin tidak terlupakan adalah kasus suap izin impor sapi Ustadz Lutfhi Hasan Ishaaq yang juga Ketum PKS ketika itu dengan vonis 18 tahun penjara.Â
Intuisi penulis bahwa kebijakan izin ekspor benur, jika jadi digulirkan, Â akan menggunakan skim hambatan bukan tarif seperti Izin Khusus Ekspor dan Kuota Ekspor. Ini tentunya terkait dengan banyak pihak yang berkepentingan dan Jokowi gagal paham atau sebagai kompromi politik sehingga mengaminkan saja skim NTBs tersebut.Â
Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut dalam narasi ekonom adalah pemburu rente sedangkan Faisal Basri walaupun juga ekonom kondang lebih suka menggunakan narasi yang lebih menyengat yaitu mafia.
Eling Mas Jokowi. Izin Ekspor Benur dengan skim Izin ekspor Khusus dan/atau kuota ekspor tidak sejalan dengan tembang surga yang diucapkan oleh Bapak Presiden seperti diatas dan telah Bapak ucapkan ribuan kali dalam kasus hambatan impor pangan. Naudzubillah Min Dzalik, Ya Allah berikan kesadaran pada orang baik ini Pak Presiden Ir. Djoko Widodo. Aamin YRA.
silahkan baca juga: Jelang Panen Raya, Jangan Biarkan Beras Petani Busuk di Gudang Bulog
yang lebih seronok: Pengendalian Impor Beras ala Prof BJ Habibie dan Beberapa Opsi Alternatif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H