Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlu 5 Tahun Menyiapkan Konsep Kemerdekaan Belajar? Bener Nich Mas Nadiem?

30 November 2019   19:08 Diperbarui: 1 Desember 2019   14:59 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terperengah mendengar bahwa Konsep Kemerdekaan Belajar baru akan dapat diselesaikan dalam waktu 10 - 15 tahun. Ini yang disampaikan oleh Mas Nadiem, Menteri Pendidikan & Kebudayaan KIM,  di The Ritz Carlton Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 28 November yang lalu. 

Disini Beliau mengatakan bahwa kementerian negara yang dipimpinnya tengah menggodok konsep merdeka belajar dengan semangat membebaskan sekolah untuk menciptakan kreativitas dan inovasi. 

Kutipan pernyataan itu yang dirilis oleh DetikNews, adalah seperti dibawah ini.

"Ini suatu konsep yang mungkin sangat berbeda dari yang sekarang, tetapi tidak mungkin akan tercapai dalam 5 tahun. Bisa tercapai mungkin 10-15 tahun. Tapi tugas selama lima tahun ke depan ini adalah paling tidak mengganti konsep." 

Mas Nadiem yang smart ini membutuhkan waktu lima tahun untuk menyiapkan konsep Kemerdekaan Belajar.  Dalam lima tahun ke depan, yang bersesuaian dengan mandat yang diberikan kepada KIM, Mas Nadiem berjanji mengganti konsep pendidikan, terkesan utamanya jenjang pendidikan dasar dan menengah,  yang saat ini sifatnya sangat administratif, yang bermuara pada guru hanya mengajarkan apa yang tertera di silabus. Konsep ini akan diganti dengan Konsep Kemerdekaan Belajar.

Hadeuh, membuat konsep saja perlu waktu yang sama dengan masa jabatan Presiden Jokowi. Sungguh keterlaluan kata Rhoma Irama.

Sebetulnya jika hanya konsep atau semangat kemerdekaan belajar itu sebetulnya sudah selesai. Itu tidak perlu menunggu hingga lima tahun lagi. 

Ini sudah disampaikan oleh Mas Nadiem jauh sebelum diangkat menjadi menteri KIM. Disini beliau mengatakan bahwa target utama perombakan kurikulum adalah sisi assessment atau tesnya. 

Konten tes terlalu sarat dengan substansi hafalan yang sebetulnya yang penting itu bukan hafalan, namun kecakapan anak tersebut berpikir kritis dengan melihat suatu permasalahan dari dua sisi berbeda, imbuhnya. 

Dengan kata lain, pola test sekarang memasung murid dan guru pada konten hafalan. Ini yang akan dimerdekakan oleh Mas Menteri Nadiem ini.

Semangat untuk menciptakan murid yang bersifat kritis dan analitis serta merdeka ditekankan kembali oleh Beliau dalam Pidato Hari Guru, 25 November yang lalu, 

Namun, narasi test atau ujian yang mendorong kemerdekaan belajar, daya kreativitas dan analitis murid itu dipandang publik belum begitu jelas wujud nyatanya. Suara-suara untuk meminta kejelasan tersebut mengalir dengan derasnya.

Kompasianer Almizan53, misalnya, berpendapat bahwa semangat kemerdekaan belajar dengan pendekatan test berbasis analitis hanya dan hanya dapat dicapai jika guru diberi kemerdekaan penuh. 

Untuk itu,menurut artikel ini, yang sudah mendapat viewer lebih dari 30.300 hingga hari ini, guru harus diberi kemerdekaan penuh dalam mengajar, test, dan menilai. Lebih jauh lagi, artikel ini juga mengatakan bahwa konsep totalitas kemerdekaan guru ini menghendaki dihapusnya Sistem Ujian Nasional.

Sebagai selingan, perlu kita ingat bahwa biaya pelaksanaan ujian nasional (UN) setiap tahun terus meningkat. Untuk tahun 2020 sudah disetujui sebesar Rp8,4 triliun. Angka ini akan naik lagi pada 2021, 2022, dan seterusnya dan sudah pasti akan melebihi 10 triliun pada akhir masa jabatan Mas Nadiem, 2024. Dengan demikian, Mas Nadiem akan menghabiskan uang APBN lebih dari 50 triliun rupiah untuk biaya UN saja, jika UN masih tetap dipertahankan hingga 2024. 

Jelas dengan demikian konsep kemerdekaan belajar itu tidak jauh-jauh dari konsep kemerdekaan guru. Konsep itu sudah ada dan sudah diucapkan oleh Mas Nadiem tak terhitung kali nya lagi. 

Jadi, dengan demikian alternatif konsep kemerdekaan belajar yang dimaksud Mas Nadiem itu berkemungkinan adalah kurikulum berbasis kemerdekaan guru dengan tujuan meningkatkan kreativitas, semangat kerja, dan kejujuran. Kejujuran ini mencakup kejujuran sekolah, kejujuran guru, dan kejujuran murid dan orang tua murid. 

Membongkar kurikulum lama dan mengganti dengan kurikulum baru jelas tidak gampang. Namun, terasa nyeleneh jika membutuhkan waktu hingga lima tahun, atau, bahkan 15 tahun seperti yang dikatakan oleh menteri termuda KIM ini.  

Lima tahun itu terlalu lama Mas Nadiem jika hanya untuk kutak katik konsep pendidikan. Utak katik konsep pendidikan dari yang berbasis hafalan menjadi yang berbasis kemerdekaan belajar yang membutuhkan waktu lima tahun adalah sangat-sangat terlalu lamban. 

Ini sangat bertolak belakang dengan harapan Presiden Jokowi agar mantan founder dan CEO Gojek ini yang juga alumni MBA Harvard Univ, USA, dapat merombak dunia pendidikan Indonesia secara revolusioner dalam waktu yang singkat.

Ini akan sangat terasa ironis jika yang dimaksud Mas Nadiem itu nantinya hanya sebatas ganti dan pake kurikulum baru saja. Lebih terasa teriris-iris lagi jika itu mencakup juga penundaan penghapusan UN dan/atau bentuk lainnya hingga lima tahun lagi. Uang rakyat yang dihabiskan untuk UN itu saja, seperti disampaikan diatas, akan lebih dari 50 triliun rupiah.

Itu angka yang fantastis Boz. Seandainya UN dihapus dan uang itu diberikan kepada guru, katakan saja Rp10 juta/guru, maka uang itu cukup untuk diberikan kepada lima juta orang guru! Lebih Mas, guru hanya berjumlah tiga juta orang. Gampang, tambah saja menjadi 11 juta per orang. 

Buset.. yang enak elu aja... orang-orang disekitar Mas Nadiem jelas menolak wacana penghapusan UN itu. Habislah tambahan penghasilan kami begitu kira-kira dalam pikiran para birokrat itu, walaupun bapak/Ibu pejabat negara itu sebetulnya banyak yang sudah menerima take home income mendekati 100 juta rupiah per bulan.

Banyak lagi yang demikian. Para vendor pencetak soal UN jelas mengkel, jasa pengiriman kertas dan hasil ujian jelas geram, penyedia laptop dengan nilai ratusan miliar jelas naik pitam, hotel-hotel berbintang tempat sosialisasi, FGD, temu wicara dan rangkaian lain-lain kegiatan UN akan menjerit panjang, dan seterusnya, dan seterusnya yang panjang sekali.

Wong cilik jelas bersuka ria,  selamatan dan sujud syukur. Hal yang demikian juga akan dilakukan oleh para pahlawan pendidikan kita itu lebih-lebih jika alokasi uang UN itu dialihkan dan diberikan kepada semua Bu dan Pak Guru, tanpa perlu sertifikasi untuk mendapatkannya.

Opsi yang lebih halus lagi adalah tidak langsung menyentuh isu Ujian Nasional tetapi menyentuh rumah UN itu yaitu kurikulum. Namun, orang-orang dekat Mas Nadiem itu tahu persis bahwa ini akan bermuara pada isu Ujian Nasional. Mas Nadiem perlu tegas disini dan jangan seratus persen menyerahkan kegiatan bongkar pasang kurikulum ini hanya pada lingkaran birokrat Kemendikud. Lelet! Bisa sampai 15 tahun baru selesai. Partisipasi masyarakat luas perlu dibuka.

Opsi strategis yang tersedia sebetulnya mencakup lelang kurikulum baru itu. Maksudnya, dibuat tender terbuka baik untuk peserta tender domestik maupun peserta tender luar negeri. 

Penulis yakin, jika proses tender itu bebas KKN, tarif untuk mendapatkan kurikulum berbasis kemerdekaan belajar seperti yang diingini itu, akan berada dalam kisaran hanya 1 persen nilai UN selama lima tahun itu. 

Kompasianer tentu saja dengan demikian bisa ikut lelang kurikulum itu. Berikan kami, Tim Kompasianer, cukup dengan Rp1 T saja, sangat-sangat kecil dibandingkan dengan Rp50T itu, kurikulum berbasis kemerdekaan belajar itu akan kami selesaikan dalam waktu kurang dari satu tahun. 

Kami akan hire khususnya the best available Kompasianer dan the best available resources in the market both domestic and world wide markets untuk merampungkan kurikulum termaksud dalam waktu kurang dari satu tahun. 

Walaupun demikian, Mas Nadiem, perlu kita sepakati dulu tentang the animal of the curriculum itu. Coba kita lihat difinisi kurikulum ini seperti dibawah ini.

The term curriculum refers to the lessons and academic content taught in a school or in a specific course or program. In dictionaries, curriculum is often defined as the courses offered by a school, but it is rarely used in such a general sense in schools. Depending on how broadly educators define or employ the term, curriculum typically refers to the knowledge and skills students are expected to learn, which includes the learning standards or learning objectives they are expected to meet; the units and lessons that teachers teach; the assignments and projects given to students; the books, materials, videos, presentations, and readings used in a course; and the tests, assessments, and other methods used to evaluate student learning. 

Kalimat pertama dari definisi diatas sederhana. Ini berisikan daftar mata pelajaran dan deskripsi mata pelajaran itu. Tinggal plot saja mata pelajaran kelas untuk setiap semester  untuk menyelesaikan jenjang mulai dari SD/Tsanawiyah hingga SLA/Alia. Pekerjaan ini dapat diselesaikan tidak akan lebih lama dari satu bulan.

Kalimat-kalimat berikutnya jauh lebih dalam. Ini mencakup penjelasan tentang pengetahuan dan ketrampilan yang diharapkan akan didapat, yang mencakup standar pembelajaran atau tujuan pembelajaran yang diharapkan akan didapat, SKS dan pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh guru, tugas-tugas dan kegiatan yang diberikan kepada para murid, buku-buku, bahan-bahan, video, presentasi, dan bacaan (text book) yang digunakan dalam setiap mata pelajaran, test, penilaian, dan metode-metode lain yang digunakan untuk mengevaluasi para murid. 

Walaupun demikian, tidak perlu menunggu sampai lima tahun untuk menyiapkan kurikulum atau konsep kemerdekaan belajar termaksud. Estimasi awal penulis kurikulum yang sedikit lebih rinci itu dapat diselesaikan juga dalam waktu kurang dari satu tahun.

Hal yang tersulit, sebetulnya, adalah implementasi dari kurikulum itu utamanya dalam aspek test, jika sudah disepakati sebelumnya bahwa guru diberikan kemerdekaan sepenuhnya dalam mengajar, menguji termasuk memberikan tugas-tugas dan proyek-proyek kepada para murid, dan memberi nilai. Selain itu, Tim Kami juga akan membuat paparan serinci mungkin terkait risiko pemberian nilai yang tidak fair yang berpotensi bersumber dari tekanan murid/orangtua murid, sekolah, dan dinas pendidikan daerah.

Misalnya, murid/orang tua murid dapat menekan guru untuk mendapatkan nilai rapor yang lebih baik agar dapat diterima di sekolah yang bagus pada jenjang pendidikan yang berikutnya, atau, untuk kepentingan mencari kerja. Sekolah dapat tergiur mendongkrak nilai rapor untuk memperbaiki atau mempertahankan posisi akreditasi. Pemerintah daerah dapat juga menekan sekolah-sekolah untuk mendongkrak nilai rapor untuk kepentingan mendapatkan Indeks Pembangunan Manusia (PIM) yang labih baik sehingga mendapatkan kucuran dana Transfer Daerah yang lebih besar.

Risiko-risiko tersebut perlu diantisipasi dan dikendalikan agar konsep kemerdekaan belajar dapat diimplementasikan dengan sempurna.

Hasil studi dan pengembangan kurikulum Tim Kami ini juga akan mencakup analisis risiko lain dari akreditasi sekolah. Risiko yang terkait dengan syarat akreditasi sekolah untuk dapat melamar sebagai calon ASN atau calon anggota TNI/Polri, dan pegawai BUMN.

Mas Nadiem, sekali lagi dengan uang RP1 T saja dan jelas sangat kecil dibandingkan dengan yang Rp50T itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun dan bukan 5 tahun, Tim Kami dapat menyiapkan KONSEP Kemerdekaan Belajar berbasis kreativitas, kerja keras, dan kejujuran dari guru, murid/orang tua murid, dan sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun