Hal yang serupa juga dikritik dengan keras oleh Menteri Keuangan ketika itu, Sri Muljani. Uang yang sama tetapi Vietnam bisa lebih unggul, imbuh Bu Menteri ini yang saat ini dipercayakan kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan di KIM. Surabaya.com, dalam kaitan ini menyajikan kutipan Menkeu Sri ketika itu, sebagai berikut:
Kita sudah 10 tahun menganggarkan 20% untuk pendidikan, tapi outputnya tidak bagus, tidak sememuaskan sebagaimana kita harapkan,"
Sekarang coba kita lihat analisis dari The ASEAN Post yang tayang dengan judul How will Indonesia fare in PISA 2018? Artikel yang ditulis oleh Sheith Khidhir ini mengatakan nilai murid Indonesia jelek di PISA 2015 untuk tiga bidang ilmu yang dievaluasi yaitu matematika, membaca (literasi), dan science.
Indonesia menduduki juri kunci dibandingkan dengan seluruh negara ASEAN yang berpartisipasi dalam PISA ini. Dilaporkannya juga bahwa Indonesia berada di ranking 62 dari 70 negara yang disurvei dan Singapura, negara kota tempat Mas Nadiem sekolah SMA dulu dan tempat Putra Jokowi belajar juga, berhasil menduduki peringkat teratas atau nomor satu.
Penulis coba browsing hasil PISA untuk tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari tahun 2.000, 2003, hingga 2015. Ternyata, memang ada perbaikan score dan posisi Indonesia, tetapi sangat kecil dan jauh tertinggal dengan banyak negara lain termasuk tertinggal dengan negara-negara ASEAN.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pendidikan Indonesia relatif stagnan, tidak move on, dan begitu-begitu saja? Pertanyaan ini misalnya dijawab oleh Lowy Institute, Sydney, Australia. Menurut hasil studi ini, yang dilaporkan dengan judul menggigit Beyond access: Making Indonesia’s education system work, buto cakil rendahnya kualitas pendidikan Indonesia adalah politik dan kekuasaan "politics and power."
Dilaporkan disini bahwa sangat kecil sekali, jika ada, niat baik dan tulus dari elit politik, pejabat tinggi negara, Indonesia untuk merombak secara drastis sistem dan budaya pendidikan Indonesia. Mmm narasi merombak pendidikan secara drastis itu pernah juga diucapkan oleh Presiden Jokowi, rasanya.
Lebih keras lagi, The Lowy Institut ini mengatakan bahwa elit penguasa tersebut lebih termotivasi untuk untuk mengeksploitasi, aji mumpung kata orang kita, celah-celah menggiurkan sehingga dapat menimbun kekayaan, bagi-bagi uang dan jabatan, serta mobilisasi dukungan politik dan menggerakkan tangan-tangan dan jaringan kekuatan politik. Kutipan dari penuh dari pernyataan ini, adalah sebagai berikut:
"....there is little incentive for old elites to drastically overhaul the education system, arguing that they would rather exploit it to “accumulate resources, distribute patronage, mobilise political support, and exercise political control.”
Narasi Menteri Limaratus Miliar Humprey rasanya nyambung disini ya. Tapi, sabar.. coba kita baca pelan-pelan lagi.
Anda setuju dengan temuan The Lowy Institute itu? Bagi penulis, sebelum menjawab pertanyaan ini, coba kita lihat hasil stock takings Kompasianer kita diatas. Ada 10 isu utamakan, dan, rasanya tidak sulit-sulit benar untuk mencari solusi 10 permasalahan tersebut. Anomali dengan deretan panjang daftar Menteri Pendidikan dengan nama dan gelar-gelar yang sangat panjang, termasuk Muhajir Efendi dan Anies Baswedan untuk dua pejabat tinggi negara itu yang terakhir sebelum Mas Nadiem.
Jelas itu tidak sesulit bagi Indonesia untuk menciptakan pesawat ruang angkasa. Mungkin hanya sebanding dengan tingkat kesulitan pengelolaan sampah plastik, konservasi sumber daya alam, dan menjadikan BUMN sebagai kontributor kas negara. Dengan kata lain, hanya kekuatan dan kekuasaan politik yang dapat mendobrak ini.
Coba lihat itu yang penulis sajikan pada urutan (i) beban administrasi guru. Untuk membuat beban admintrasi guru menjadi lebih sederhana saja sampai puluhan tahun belum dapat dilaksanakan dan sekarang menunggu Mas Nadiem untuk membereskannya. Apa itu bukan disebabkan ada kepentingan dan lahan basa?