Penulis sepakat dengan pemikiran Nadiem ini. Namun, menurut penulis yang walaupun sudah puluhan tahun melewati jenjang sekolah menengah tetapi berpengalaman sekitar 17 tahun menjadi dosen dan juga menerima award Master of Science dari PT di USA seperti juga Nadiem (Nadiem MBA), inovasi guru yang dimaksud Nadiem itu hanya dapat terlaksana jika terkait dengan pemberian nilai rapor para murid.
Sekarang dengan demikian kita nantikan bagaimana posisi Nadiem atas sistem pemberian nilai termaksud. Akankah Nadiem hanya memberikan kebijakan umum dan memberikan keleluasaan kepada para guru untuk memilih model dan metode penilaian sendiri, atau, Nadiem akan memberikan Juklak dan Jeknis secara rinci dan kaku.
Ironisnya, kebijakan manapun yang akan diambil oleh Nadiem tidak dapat tidak akan terbentur dengan sistem-sistem ujian yaitu Ujian Nasional, Ujian Akhir Sekolah, dan Ujian Akhir Semester. Guru tidak diberikan otoritas dan/atau kepercayaan untuk memeriksa hasil ujian para muridnya. Guru memeriksa hasil ujian murid lain yang tidak dikenalnya.
Guru juga tidak diberikan hak untuk membuat soal untuk para muridnya. Soal-soal UJian Akhir Semeter dan Ujian Akhir Sekolah dibuat oleh atasan guru yaitu Dinas Pendidikan, dan soal-soal Ujian Nasional dibuat oleh Nadiem Makarim sendiri.
Bagaimana guru dapat menciptakan inovasi mengajar dengan sistim Top Down yang kaku seperti ini? Bagaimana guru dapat melakukan inovasi jika tidak memiliki independensi dalam mengajar, membuat soal, dan menilai? Bagaimana guru dapat melakukan inovasi jika guru-guru terbelenggu untuk menulis buku pelajaran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H