Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kabinet Jokowi Serasa Kabinet Soeharto

27 Oktober 2019   11:03 Diperbarui: 21 Februari 2020   16:48 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar Soeharto dari Biografi.com dan Gambar Jokowi dari JPNN.com/diolah oleh penulis

Seperti diketahui Kabinet Jokowi Jilid Dua yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju sudah diumumkan pada hari Rabu, 23 Oktober 2019, yang lalu. Ada 34 Menteri kabinet dan empat pejabat tinggi negara setingkat menteri kabinet.

Pro, kontra, harapan dan kecemasan atas terpilih nya para pejabat tinggi negara tersebut terus bergulir hingga hari ini. Ini mengusik ingatan penulis, yang merupakan bagian dari rezim Orba Soeharto selama lebih dari tiga dekade,  dengan kabinet-kabinet pembangunan pada rezim Orde Baru Soeharto. Jelas banyak perbedaan-nya tetapi juga tidak kurang banyak nya persamaan-persamaan. 

Persamaan pertama adalah semangat dwi fungsi ABRI (termasuk Polri). Misalnya, jika dulu ada dua orang jenderal TNI yang diangkat menjadi Menteri Agama yaitu Laksda Tarmizi Taher dan Letjen Alamsyah Ratu Perwiranegara, maka sekarang dalam Kabinet Jokowi-Amin, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi juga diangkat sebagai Menteri Agama Kabinet Jokowi Jilid Dua. 

Namun, jika dulu pertimbangan-nya lebih untuk menjaga kerukunan antar kelompok Muhammadiyah dan NU, kini pertimbangan utama-nya lebih untuk mengendalikan paham radikalisme yang banyak memapar pesantren dan para Kyai serta Ustadz. 

Semangat dwi fungsi TNI/Polri juga terlihat dari diangkatnya Kapolri Muhammad Tito Karnavian menjadi Menjadi Menteri Dalam Negeri. Bagian pertimbangan terpenting disini terkait dengan terus meningkatnya gerakan berdarah OPM di dua provinsi paling Timur Indonesia ini.

Presiden Jokowi kelihatan-nya yakin bahwa sosok Tito adalah orang yang paling tepat untuk mengendalikan dan membangun kembali Papua. Pengalaman Tito sebagai Kapolri dan Kapolda Papua yang mengenal wilayah/geografis, orang-orang dan kepala daerah Papua merupakan aset terpenting dalam mendukung tugas baru Tito ini.

Tito langsung tancap gas. Satu hari setelah pelantikan langsung terbang ke Papua dan mendapat kejutan HBD di hari Sabtu, 26 Oktober, ketika sedang berada di Timika, Papua Barat.

Persamaan kedua masih di bumi Cenderawasih  ini. Di Era Soeharto, pembangunan provinsi Irian Jaya (sekarang Papua Barat dan Papua) ditandai dengan tinggi-nya kegiatan operasi militer. 

Kini, diakhir Kabinet Jokowi Jilid Satu jumlah pasukan TNI dan Polri sudah mencapai 2.529 orang hingga 30 Agustus 2019. Jumlah ini, untuk sementara tidak akan dikurangi dan berpotensi untuk ditingkatkan di awal-awal kabinet Jokowi-Amin ini.

Persamaan ketiga terkait dengan agenda pemberantasan kolusi dan korupsi. Selama 32 tahun rezim Orba, tidak ada satu pun Menteri Kabinet, Anggota Legislatif, dan Kepala Daerah yang berurusan dengan pengadilan apalagi sampai masuk bui. 

Kondisi ini bukan berarti tidak ada Kolusi, Korupsi dan Nepotisme atau  KKN di zaman Pak Harto itu. Namun, mereka itu terlindungi oleh rezim kebijakan stabilisasi keamanan dan pembangunan yang sangat represif

Pada penghujung masa Pak Harto KKN diperkirakan sudah merupakan gurita raksasa yang tidak mungkin tersentuh oleh aparat penegak hukum. Ekonom Senior, yang juga Mantan Menteri Kabinet Orba dan besan Pak Harto ketika itu, Prof Dr Soemitro Djodjohadikesumo, mengatakan bahwa korupsi dan/atau pemborosan APBN ketika itu mencapai 50 persen dari total nilai APBN.

Hal itu berputar 180 derajat di Era Reformasi. Sampai dengan Kabinet Jokowi Jilid Satu, Tipikor dan penjara disesaki oleh para pejabat negara tersebut. Ini mrupakan kontribusi terbesar dari  senjata OTT KPK. 

Kini senjata OTT KPK sudah diamputasi. Selain itu, agenda pencegahan korupsi KPK dan Kabinet Jokowi-Amin juga belum begitu jelas kelanjutan-nya. Reinkarnasi KKN rezim Soeharto ke rezim Jokowi, walaupun mungkin dengan intensitas dan skup yang lebih kecil, sudah berjalan di jalur-nya.

Ada berita seru dari KPK yang terbaca di running text Tv semalam, 20 Februari 2020. Itu terkait dengan keputusan KPK menghentikan 36 penyelidikan kasus korupsi. Kompas.com tayang artikel dengan judul KPK Hentikan Penyelidikan 36 Kasus Korupsi! 

Kompas.com menyajikan pertimbangan KPK untuk menghentikan penyelidikan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan termaksud adalah:

-Sejumlah penyelidikan sudah dilakukan sejak 2011 (9 tahun), 2013, 2015 dan lain lain.
-Selama proses penyelidikan dilakukan tidak terpenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan, seperti: bukti permulaan yang cukup, bukan tindak pidana korupsi dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
-Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/D.

Walaupun demikian, ada hal positif di rezim Jokowi ini. Media masih terbuka dan kebebasan berpendapat sepanjang konstruktif tidak akan dibui. 

Kampasianer, terus bersuaralah untuk Indonesia yang bebas KKN dan iklim demokrasi yang lebih baik.

Persamaan keempat terkait lembaga DPR sebagai tempat transit menteri kabinet. Di Kabinet Soeharto sangat biasa  sosok akademisi terkemuka, pejabat tinggi negara termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota dicalonkan sebagai anggota DPR/D dari Golongan Karya (Golkar)  dalam setiap Pileg. Usai Pileg dan Kebinet terbentuk mereka mengundurkan diri dari DPR/D dan kembali menjabat sebagai Menteri Kabinet, Gubernur dan Walikota/Bupati.

Misalnya, beberapa kali Prof Dr Ali Wardhana, Drs Prawiro, dan Ir Hartarto dicalonkan sebagai anggota DPR dari Golkar. Kemudian, setelah Kabinet terbentuk masing mereka kembali menjadi Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian.

Hal yang serupa terjadi di Kabinet Jokowi ini. Misal, Airlangga Hartarto, Yasonna Hamonangan Laoly, Siti Nurbaya, Lukman Saefudin, dan Tjahjo Kumolo.

 Inikah wajah demokrasi yang kita inginkan?

Persamaan kelima terkait dengan pembangunan infrastruktur fisik. Soeharto sangat getol membangun infrastruktur fisik di paruh pertama 32 tahun masa pemerintahan-nya. Pembangunan jalan dan jembatan menjadi tontonan menarik anak-anak sekolah yang sedang berjalan kaki menuju sekolah di tahun 1970an.  Pelabuhan dan bandara juga dibangun dan direnovasi secara masif di seluruh pelosok nusantara. Hal istimewa lain adalah pembangunan gedung-gedung SD Inpres.Hal yang sama juga dilakukan oleh Kabinet Jokowi. Pembangunan jalan tol trans Jawa sudah diselesaikan dalam tahun 2018. Disini banyak mengapresiasi Jokowi sebagai Daendels van Java.

Sebagian jalan tol Sumatera juga sudah operasional dalam tahun 2019 ini. Kelihatannya ruas tol Sumatera Bakauheni Palembang akan mulai operasional di tahun ini.

Pesat sekali pembangunan infrastruktur fisik Jokowi jilid satu dan kelihatannya itu akan berlanjut di jilid dua sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun