Beberapa hari kemudian, 3 Oktober, juga secara kebetulan, penulis melirik notifikasi dari DetikNews dengan judul YPKP Serahkan Temuan 346 Kuburan Massal Korban Tragedi 1965 ke Komnas HAM. YPKP ini adalah organisasi dengan nama Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 dengan Ketua Bedjo Untung.Â
Mendalami berita ini lebih lanjut dan... ternyata penyerahan dokumen YPKP65 pada tanggal 3 Oktober itu mendapat liputan yang meluas dari media. IDN Times, misalnya, menyajikan beberapa kutipan pernyataan dari Bedjo Untung seperti dibawah ini:
"Saya datang untuk mengingatkan bahwa ada suatu peristiwa yang dahsyat di 1965, ada pembunuhan massal dengan jumlah 500 ribu sampai 3 juta yang dilakukan secara masif dan terstruktur dan negara nyaris melupakannya,......Saya menyerahkan temuan hasil investigasi YPKP65 pada Komnas HAM sehingga tidak ada lagi alasan menunda, saatnya negara hadir berikan keadilan.,"Â
Sampai disini mungkin kita dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi pembunuhan massal atas orang-orang yang mendapat stempel PKI di banyak wilayah Indonesia. Diduga itu mulai dari Sumatera Utara,Sumatera Barat, Palembang, Lampung, Sukabumi, Jawa Tengah dan Timur, Bandung, hingga Tangerang. Rasanya ada juga di beberapa daerah lain.
Walaupun demikian, seberapa banyak korban genocide (genosida) itu, yang menurut data Bedjo Untung hingga tiga juta orang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Juga, data 346 kuburan massal itu masih juga memerlukan pembuktian valid lebih lanjut.
Terlepas dari gugatan HAM YPKP itu, penulis teringat kembali versi lunak dari penumpasan orang-orang PKI di kota kelahiran penulis, Palembang Sumatera Selatan. Bisa kita mulai dengan kisah pada suatu pagi hari di tahun 1965 itu, murid-murid kelas 6 SR di sekolah kami dulu dan termasuk penulis sendiri mendengar secara langsung dari Kepala Sekolah bahwa ia ditetapkan sebagai guru PKI. Dengan berurai air mata ia menceritakan itu didepan ruang kelas sambil berdiri dan kelilingi oleh murid-murid termasuk penulis sendiri.
Kemudian, ada teman sekelas yang lain, yang juga baru terlihat dengan berurai air mata, juga menyatakan bahwa hal yang serupa juga dialami oleh ayah dan ibunya. Orang tua teman saya itu petani kangkung, cabe, bayam dan singkong di sekitar sekolah kami.
Kemudian, dalam beberapa bulan kemudian, penulis mendengar ada seorang guru yang penyewa bedeng kumuh tetangga kami juga sudah diangkut ke rumah tahanan negara. Penulis kenal dengan guru itu yang suka main pimpong dan sempat bertemu ketika ia sudah dibebaskan sebagai Tapol PKI Gol C beberapa tahun kemudian. Penulis disapanya dengan senyum ketika ia bertamu dengan seorang guru tetangga penulis.
Banyak lagi kisah-kisah tragis yang sangat memilukan dari Tapol PKI Gol C yang penulis sempat dengar. Namun, ada benang-benang merah yang dapat kita tarik disini.
Pertama, orang-orang di sekitar penulis itu, menurut intuisi penulis sekarang, bergabung dengan Ormas PKI dengan motivasi sosial ekonomi. Mereka misalnya diberikan perlindungan menggarap tanah terlantar dan/atau tanah negara. Sedangkan guru-guru itu lebih banyak bergabung untuk mendapatkan beberapa kemudahan seperti mempermudah mendapatkan SK PNS, kenaikan jabatan, dan penempatan lokasi sekolah tempat mengajar.
Kedua, yang melakukan penculikan dan pembunuhan tujuh Pahlawan Revolusi itu adalah Kolonel Untung Cs. Betul itu katanya mendapat dukungan penuh dari pimpinan PKI di Jakarta. Tapi, mereka itu seperti orang-orang di sekitar penulis, rasanya tidak tahu apa-apa dengan kegiatan Kolonel Untung dan pimpinan PKI Jakarta.