Mendengar kata Wamena jelas itu kita asosiasikan dengan tanah Papua Indonesia. Wamena dengan festival budaya tahunan Lembah Baliem lebih populer lagi baik di dalam mau pun di luar negeri.Â
Festival tahunan ini diikuti oleh berbagai suku di pedalaman Lembah Baliem. Salah satu snap shot acara tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Agustus ini seperti tersaji dibawah ini.
Lembah Baliem juga kota kelahiran tokoh OPM Benny Wenda yang saat ini bermukim di Oxford, Inggris. Benny berasal dari suku Lany dan penggunaan koteka umumnya oleh suku Dany Baliem. Benny saat ini adalah Ketua the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang bermarkas di Oxford Inggris.
lihat juga: Antara Benny Wenda, Xanana Gusmao, dan Bung Karno
Pagi ini Ibukota Kabupaten Jaya Wijaya itu rusuh. Beberapa instalasi penting pemerintah dibakar. Semua warga sudah mengungsi ke kantor polisi dan Kodim.
Menurut beberapa media kerusuhan ini bersumber dari perkataan seorang guru yang bernada rasis. Tidak begitu jelas apakah murid di kelas itu menceritakan kejadian ini di rumah atau di jalan. Tidak begitu jelas juga apakah murid ini merasa tertekan dan menceritakannya secara emosional, atau, sebetulnya hanya gurauan saja.Â
Atau, itu hoax Sosmed semata. Tidak ada kejadian seperti itu sama sekalui tetapi ada yang membuat provokasi itu dan masyarakat di sana rentan tersulut hoax dan provokasi.
Ini kelihatannya sejalan dengan DetikNews yang melaporkan keterangan Polri bahwa kerusuhan di Wamena hari ini dipicu hoax bernada rasis. Masih menurut Polri, hoax bernada rasis itu disebar oleh akun-akun media sosial (medsos) dan kini ditelusuri polisi.
Terlepas dari bagaimana kejadian yang sebenarnya, masa pelajar dalam jumlah yang besar turun ke jalan. Yang di gruduk tetapi bukan guru dan/atau sekolah tetapi instalasi penting yang mencakup pusat bisnis Wamena, gedung pemerintah, dan PLN.
Dalam perspektif yang lebih luas, patut kita pahami bahwa kondisi di Papua Indonesia sangat sensitif saat ini. Hal-hal sepele menurut ukuran kita bisa memprovokasi massa dan menimbulkan gelombang unjuk rasa anarkis.Â
Terpikir seandainya saya bekerja di Wamena saat ini. Cemas dan galau jelas berkecamuk setiap saat. Pasti terpikirkan bahwa hidup di luar Wamena atau Papua secara umum rasanya lebih nyaman walaupun dengan gaji yang jauh lebih rendah. Mau minggat dari Wamena tapi satu-satu nya  jalan adalah dengan pesawat udara dan malangnya Bandara Wamena tidak beroperasi sejak pagi tadi.
Penulis jelas tidak sendirian seandainya terjebak dalam kondisi mencekam seperti saat itu. Bayangan kecemasan dan ketakutan dapat diperkirakan menteror banyak orang, lebih-lebih para pendatang termasuk para guru, tenaga medis, dan seluruh jajaran pemerintah secara menyeluruh.
Mitigasi kecemasan dan ketakutan warga pendatang di Wamena dan Papua Indonesia secara menyeluruh mendesak dilakukan oleh pemerintah, seandainya belum dilakukan. Pemerintah menurut hemat penulis perlu memberikan perhatian khusus termasuk memberikan tunjangan kecemasan, misalnya, bagi para guru, tenaga medis, dan seluruh jajaran pemerintah di sana secara umum. Perlu juga diberikan perhatian khusus jika ada yang menjadi korban kerusuhan-kerusuhan itu.
Sebagai tambahan, Presiden Jokowi sudah tiga atau empat kali berkunjung ke Wamena. Gambar dibawah ini adalah ketika kunjungan dalam bulan Desember, 2014.
Dalam keterangan pers terkini Jokowi pernah berucap bahwa penerbangan dari Aceh ke Wamena perlu waktu sembilan jam 15 menit. Itu menurutnya, sebanding dengan perjalanan dari London, Eropa Barat ke Istambul, Turki, Eropa Timur, yang melintasi wilayah enam atau tujuh negara.Â
Bisa penulis tambahkan bahwa jam terbang sembilan jam 15 menit itu juga lebih lama dari Jakarta - Sydney atau Jakarta Tokyo. Lama jam terbang Aceh - Wemana itu hanya 15 menit lebih lama dari waktu penerbangan Jakarta - Jeddah Saudi Arabia.
lihat juga: Memahami Posisi PBB atas Kasus Veronica Koman
Menyusul kerusuhan di Wamena, kerusuhan lebih parah terjadi Jayapura. Jika sejauh ini belum diketahui, jika ada, korban jiwa di Wamena, maka Kompas.com melaporkan buntut kerusuhan dem0 Mahasiswa di Universitas Cendrawasi telah menelan empat orang tewas, yang salah satunya adalah anggota Yonip Ryder.Â
Kejadian yang terjadi pada Senin, 23 September 2019 tersebut mendapat kritik keras dari Gubernur Papua, Lukas Enembe. Menurut Lukas, tindakan mahasiswa tersebut adalah salah dan jangan diulangi kembali.
Kompas.com, hari ini, Selasa, 24 September 2019, merilis berita tentang aktivitas di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang lumpuh total. Disini dilaporkan bahwa kebanyakan dari masyarakat lebih memilih mengungsi dari tempat tinggalnya.Â
Jumlah pengungsi sampai hari ini sekitar 400 orang. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah lagi.
Updating dari Kompas.com menyatakan kerusuhan di Wamena menelan  23 warga meninggal dunia dan 77 orang lainnya luka-luka. Menurut polisi dalang kerusuhan di Wamena berasal dari kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Kompasianer Dr. Ari F Syam, kemarin 28 September, tayang artikel dengan judul "Gugur dalam Peristiwa di Wamena, Selamat Jalan Dokter Soeko." Beberapa kutipan langsung yang penting dari artikel ini adalah:
Kekerasan terhadap dokter kembali terulang, bahkan kali ini sampai menyebabkan kematian. Hal itu terjadi pada peristiwa rusuh di Wamena beberapa waktu lalu. Dr Soeko M. Mulyo (53 tahun) Â alumni FK Undip gugur karena mengalami kekerasan fisik......Peristiwa pembunuhan oleh para perusuh yang menjadi viral itu tentunya bisa melemahkan mental dokter-dokter lainnya untuk bekerja di daerah, khususnya di daerah konflik. Terbukti beberapa dokter yang bekerja di Wamena melakukan eksodus keluar dari sana.
Pemerintah dalam hal ini wajib melakukan langkah-langkah hukum dan pengamanan agar tidak terjadi pembunuhan atau kekerasan kembali termasuk kepada para petugas kesehatan di Wamena.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H