Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Potensi "Systemic Risks" Duniatext dan Beberapa Firm Nasional

2 Agustus 2019   07:53 Diperbarui: 2 Agustus 2019   07:58 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurs Jual USD ke Rupiah - 2 Jan 2018 - 1 Agustus 2019

Pasar keuangan Indonesia gempar di penghujung Juli 2019. Raksasa Tekstil Indonesia, Duniatext, terlilit utang yang sangat besar dan gagal bayar atas kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang obligasi internasional sebesar US$260 juta (Rp3,6 triliun).  

Lembaga Pemeringkat Internasional S&P, yang juga mempertimbangkan prospek negatif pada PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), anggota grup Duniatext, yang berpotensi menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk memenuhi kewajiban utang kredit sindikasi sebesar US$ 5 juta (Rp70 miliar) yang akan jatuh tempo pada September 2019, menurunkan rating Duniatex menjadi CCC- atau setara dengan junk bond (obligasi sampah).  Rating Duniatext akan diturunkan kembali jika dalam bulan September itu masih default (gagal bayar) lagi.

Duniatext juga terlilit utang yang besar di jaringan perbankan nasional. Ada 10 bank yang menghadapi exposure risks Duniatext dengan nilai pinjaman kepada 10 bank tersebut di tahun 2018 adalah sebesar Rp1,8 triliun. 

Beberapa media bahkan menyatakan lebih besar lagi yaitu Rp5,2 triliun. Sedangkan posisi utang Duniatext pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. senilai Rp2,7 triliun, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sebesar Rp1 triliun. 

Beberapa media termasuk J.P Morgan menyatakan ada sekitar 20 Bank di Indonesia yang mengucurkan kredit pada Grup Duniatext. Secara keseluruhan, posisi utang Duniatext pada akhir Juli 2019 adalah Rp17 triliun. Angka yang sangat besar.

Baru saja terungkap dalam bulan Juli 2019 bahwa Duniatext juga sudah menunggak (default) pembayaran kewajiban bunga dan cicilan utang pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), yang sering disebut sebagai PT Indonesia Exim Bank. Posisi total utang Duniatext kepada LPEI hingga Juli 2019 adalah Rp3,04 triliun. 

Posisi Non Performing Loan (NPL) LPEI dalam bulan Juli 2019 adalah 14,52 %. Posisi ini jauh diatas ambang batas 5% sebagaimana ditetapkan oleh OJK. Posisi NPL Juli ini juga jauh lebih tinggi dari posisi akhir Maret yang sebesar 10,58 persen.

Otoritas Jasa Keuangan akhir tahun 2018 sudah mengingatkan LPEI atas pelanggaran NPL tersebut. Namun NPL LPEI terus membengkak ke tingkat 10,58 % pada posisi akhir Maret 2019 dan terus bertambah bengkak di posisi Juli 2019 pada angka 14,52%. 

Untuk itu OJK mewajibkan LPEI untuk menyiapkan rencana tindak (action plan) mitigasi dampak gagal bayar Grup Duniatext. Ini tentu saja mencakup restrukturisasi utang Duniatext yang dapat bermuara pada penjualan aset-aset nya yang tidak produktif. Selain itu, LPEI menjelaskan bahwa kondisi likuiditas Eximbank tak ikut terganggu. 

LPEI memilik dana yang besar yang ditempatkan di bank dan surat berharga sekitar Rp 15 triliun serta pada comitted line senilai Rp 1,5 triliun 

Dalam gambar dibawah terlihat posisi OJK sebagai otoritas Mikro Prudensial SSK Indonesia. OJK langsung bertindak cepat untuk mitigasi dampak negatif krisis Duniatext ke sistem keuangan Indonesia.

Peran Otoritas Keuangan
Peran Otoritas Keuangan

Lebih jauh lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghimbau industri perbankan untuk segera memitigasi dampak dari potensi gagal bayar utang obligasi PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang tergabung dalam Grup Duniatex. 

Mitigasi penting dilakukan guna mencegah berjangkitnya kredit macet berantai ke perbankan (sistemic risks). Restrukturisasi itu mencakup jadwal ulang pembayaran utang dan penjualan aset yang dijaminkan. 

Untuk kasus LPEI, dijelaskan oleh perusahaan BUMN ini bahwa utang PT Duniatext tersebut memiliki agunan aset tetap berupa tanah, bangunan dan mesin dengan security coverage ratio (SCR) sebesar 124% untuk pembiayaan bilateral dan 263% untuk pembiayaan sindikasi. 

Selain itu, menurut perusahaan ini apabila persediaan dan piutang juga diperhitungkan sebagai agunan, maka SCR menjadi sebesar 212% untuk pembiayaan bilateral dan 411% untuk pembiayaan sindikasi. 

Secara umum, sejauh ini, kondisi SSK Indonesia masih kokoh. Ini antara lain diperlihatkan oleh tidak adanya rush penarikan simpanan bank, tingkat inflasi tetap terkendali, suku bunga relatif stabil, pertumbuhan ekonomi masih dalam jalur yang sudah diantisipasi (on the right track) dan yang paling penting kurs rupiah dapat dikatakan relatif stabil.

Kurs Jual USD ke Rupiah - 2 Jan 2018 - 1 Agustus 2019
Kurs Jual USD ke Rupiah - 2 Jan 2018 - 1 Agustus 2019

Diagram diatas memperlihatkan pergerakan kurs jual Bank Indonesia untuk setiap satu dolar AS. Pada 1 Januari 2018 nilai tukar IDR/1 USD adalah 13.610. Kurs rupiah ini memperlihatkan trend melemah hingga 30 Oktober 2018. 

Kemudian memperlihatkan tendensi penguatan hingga akhir Juli 2019. Posisi 31 Juli 2019 pada tingkat Rp14.096 jauh lebih kuat dari posisi 30 Oktober 2018 pada tingkat Rp15.303. 

Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa sejauh ini Rupiah relatif tidak terdampak dari krisis Duniatext. Selain itu, SSK Indonesia terkesan tetap tangguh walaupun juga diterpa badai krisis empat BUMN dan krisis industri Jababeka. Ilustrasi singkat krisis empat BUMN dan Jababeka tersebut seperti dibawah ini.

Selain krisis Duniatext tersebut sistem keuangan Indonesia juga didera oleh krisis empat BUMN dan krisis Jababeka. Keempat BUMN tersebut adalah: (i) PT Garuda Indonesia, (ii) PT Krakatau Steel, (iii) PT Asuransi Jiwasraya, dan (iv) PT Pos Indonesia.  

PT Pos Indonesia. Kasus Laporan Keuangan PT Pos Indonesia mirip dengan Kasus Laporan Keuangan PT Garuda Indonesia. Menurut rilis berita dari beberapa media ada kejanggalan laporan keuangan perusahaan 2018. Disini dilaporkan laba bersih mencapai Rp 2,4 triliun padahal keuntungan riilnya hanya Rp 360 miliar. 

Lebih jauh dilaporkan bahwa andaikan tidak ada subsidi pemerintah atas Public Services Obligation (PSO) sejatinya PT Pos Indonesia seringkali mengalami kerugian. Selain itu, laba bersih komprehensif perseroan yang tercatat dalam laporan keuangan tersebut juga masih mengandalkan revaluasi aset. Misalnya, Revaluasi aset di tahun 2018 adalah sebesar Rp 643,95 miliar dan pada 2017 senilai Rp 1,38 triliun.

Perlu juga diperhatikan bahwa arus kas perusahaan ini kerap kali tercatat negatif. Misalnya, dalam periode 2012-2018, PT Pos Indonesia hanya mampu membukukan arus kas positif sebanyak tiga kali. Tiga kali yang lain berwarna merah alias negatif.

PT Asuransi Jiwasraya. Perusahaan asuransi milik BUMN ini terdera kasus keterlambatan pembayaran polis jatuh tempo produk bancassurance. Nilainya cukup tinggi dan mencapai Rp 802 miliar. 

Sedang digodok skema roll over dalam bentuk perpanjangan masa polis selama satu tahun dengan tawaran bunga 7%. Dalam skema ini, selama perpanjangan tersebut manajemen Jiwasraya akan membayarkan bunga di muka mencapai 7% per tahun atau 7,4% nett per tahun.

PT Krakatau Steel. Perusahaan baja KRAS milik negara ini bertubi-tubi didera persoalan. Pertama, kasus korupsi salah seorang direksi yang kena OTT KPK. Selain itu, KRAS didera kerugian selama 7 tahun berturut-turut, utang menggunung, isu PHK massal, hingga mundurnya komisaris independen belum lama ini. 

PT Garuda Indonesia. Perusahaan penerbangan Flag Carrier yang seharusnya sangat dibanggakan tetapi sebaliknya lebih memberatkan keuangan negara. Tidak pernah nyetor dividen ke negara sejak 2004, salah seorang direktur utama terlibat kasus korupsi, dan terakhir rekayasa laporan keuangan tahun 2018. 

Dalam laporan keuangan rekayasa dilaporkan bahwa PT Garuda Indonesia membukukan laba beberapa ratus miliar rupiah. Ternyata, setelah ada peringatan dari OJK dan laporan keuangan diperbaiki, perusahaan ini rugi sebesar US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).

Industri Jababeka. Perusahaan ini memiliki surat utang luar negeri yang mencapai US$ 300 juta. Beberapa media melaporkan bahwa Jababeka berpotensi gagal bayar.

Pentingnya indikator pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang beberapa negara mitra dagang utama dalam mendeteksi potensi krisis tertuang dalam Protokol Manajemen Krisis Indonesia. Keluaran utama hasil identifikasi krisis adalah resiko terhadap nilai tukar rupiah.

Ini berdasarkan pengamatan pada risiko domestik saja sebab risiko global dapat dikesampingkan karena kasus Duniatext dan beberapa perusahaan nasional adalah kasus dalam negeri Indonesia sendiri.   

OJK sudah mengeluarkan seruan kepada bank-bank di Indonesia untuk segera melakukan restrukturisasi utang Duniatext dan tentunya juga atas utang empat BUMN dan Jababeka termaksud. 

Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa indikator makroekonomi yang lain, selain kurs rupiah,  tetap baik. Ini mencakup indikator inflasi, pertumbuhan ekonomi, NPL nasional, IHSG, dan suku bunga.

Protokol Manajemen Krisis 
Protokol Manajemen Krisis 


Komite Stabilisasi Sistem Keuangan Indonesia (KSSK) tentunya sudah melakukan beberapa tahapan dalam rangkaian tahapan mulai dari Tahapan Identifikasi, Analisis, Perumusan, dan, Pengambilan Keputusan. 

Hasilnya, KKSK pada tanggal 29 Juli 2019 melaporkan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan Semester I-2019 Terjaga. Laporan KKSK ini konsisten dengan hasil analisis pergerakan kurs rupiah diatas.

Lebih jauh, menurut Ketua KKSK yang juga adalah Menteri Keuangan, Sri Muljani Indrawati, ada tiga faktor utama yang menyebabkan terciptanya kondisi yang baik ini. 

Pertama, menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global. Dengan kata lain, tersirat dikatakannya bahwa sudah hampir dapat dipastikan adanya penurunan suku bunga global.

Kedua, terkait dengan imbal hasil investasi portofolio di Indonesia. Imbal hasil termaksud  cenderung masih kompetitif dan menarik sehingga aliran modal asing masuk masih meningkat. 

Ketiga, membaiknya persepsi mengenai prospek perekonomian Indonesia. Ini antara lain diperlihatkan oleh meningkatnya sovereign rating oleh Standard and Poor's pada Mei lalu.

Pers rilis KSSK tersebut tidak menyinggung isu Duniatext dan empat BUMN termaksud serta isu potensi gagal bayar Jababeka. Ini berkemungkinan karena isu-isu termaksud, sejauh ini, tidak begitu significant atas SSK Indonesia walaupun potensi kredit macet dan kerugian dalam hitungan puluhan triliun rupiah. 

Sejauh ini, isu Duniatext dan beberapa perusahaan domestik termaksud dijadikan head line di beberapa media nasional. Dengan kata lain, publik kelihatannya menunggu pengumuman resmi dari KKSK terkait krisis Duniatext dan beberapa perusahaan nasional termaksud. .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun