Pertama, mengurangi kepemilikan negara. Kepemilikan negara dikurangi dari 51 persen atau lebih menjadi kurang dari 51 persen. Katakan sekitar 30 persen. Dengan posisi ini posisi pemerintah masih cukup kuat di masing-masing dari kedua BUMN yang sudah go public ini (Tbk) walaupun tidak berkuasa secara mutlak lagi. Posisi Dirut Utama dan direksi yang lain dietetapkan dalam RUPS yang lebih berimbang. Jumlah anggota dewan komisaris non-pemerintah juga bertambah sehingga dapat memberikan kontrol yang lebih baik.Â
Kasus dua orang anggota dewan komisaris yang menolak menandatangani laporan keuangan 2018 yang ternyata akal-akalan itu merupakan precedent atas pentingnya mengurangi porsi anggota dewan komisaris pemerintah. Anggota dewan komisaris non-pemerintah itu tentunya dapat bekerja full time seperti yang direkomendasikan oleh Tanri Abeng, klik disini, mantan Menteri BUMN pertama. Â
Kedua, menerapkan azas professionalizing SOE boards secara lebih konsisten. Perlu diangkat CEO yang betul-betul profesional dan berstandar internasional untuk menyelamatkan baik KS maupun Garuda Indonesia. Dengan kata lain, perlu dicari Dewan Direksi yang betul-betul the best available CEOs in the markets; both domestic and overseas markets.Â
Ini sejalan dengan dengan pendapat beberapa Kompasiner yang menyarankan agar Garuda Indonesia menyewa CEO Asing. Saran ini didasarkan pada  success stories beberapa maskapai penerbangan asing termasuk Malaysian Airways.
lihat juga: Melirik Potret Kronis Korupsi dan Utang BUMN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H