Dirut Garuda yang sekarang yang akrab dipanggil Ari Askhara baru saja mengalami turbulensi laporan keuangan bermasalah dan menu tulis tangan. Kasus menu tulis tangan ini sudah terselesaikan setelah Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea tampil sebagai mediator diantara PT Garuda Indonesia dengan youtuber Rius Fernandez.Â
Kasus laporan keuangan tahun 2018 juga kelihatannya sudah mereda. Kantor Akuntan Publik yang mengaudit laporan ini sudah dikenakan sanksi larangan praktek selama satu tahun. Dewan Direksi Garuda dan Dewan Komisaris, kecuali dua orang yang menolak menandatangani laporan keuangan tersebut, dikenakan sangsi membayar denda, walaupun dalam jumlah yang tidak seberapa.
Selain itu, laporan keuangan tahun 2018 tersebut sudah direvisi. Di laporan awal, yang ditolak oleh dua orang anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia, dicantumkan Garuda membukukan laba bersih US$810 ribu ( Rp11 miliar) untuk tahun 2018, yang sebelumnya untuk Tw III rugi sebesar USD128 juta (Rp2 triliun). Dalam laporan keuangan yang sudah di revisi, Garuda Indonesia untuk tahun 2018 ternyata rugi sebesar Rp364 miliar.
Pola laporan keuangan Garuda yang rugi besar di Tw III dan ujuk-ujuk laba besar di Tw IV (laporan akhir tahun) pernah juga terjadi di tahun 2015 dan 2016. Kasus tahun 2016 adalah rugi di Tw III sebesar US$ 44 juta atau sekitar Rp 585 miliar tetapi mendapat laba sebesar US$ 59 juta pada akhir tahun 2016 (Tw IV). Sedangkan kasus tahun 2015 adalah rugi di Tw III sebesar USD8 juta kemudian ujuk-ujuk laba sebesar USD71 juta di Tw IV.
Banyak yang bersuara, termasuk beberapa Kompasianer, agar Dewan Direksi Garuda dibongkar pada RUPSLB bulan September yang akan datang. Penulis setuju dengan suara tersebut dengan catatan Dewan Komisaris Garuda juga bukan saja perlu dibongkar tetapi prinsip pengangkatan Dewan Komisaris tersebut perlu dirombak.Â
Dewan Komisaris harus orang yang bekerja penuh waktu dan bukan kerja sambilan seperti yang berlaku saat ini. Dewan komisaris yang bekerja sambilan tersebut adalah yang berasal dari pemerintahan yang mencakup dari Kementerian BUMN dan Kementerian yang lain. Mereka itu umumnya adalah yang memiliki jabatan Direktur Jenderal yang jelas tidak akan memiliki waktu untuk mengawasi perusahaan.
Adalah sangat menusuk rasa keadilan, jika Dewan Komisaris dan/atau Dewan Pengawas BUMN hanya bekerja paruh waktu, hanya menandatangani tangani laporan keuangan (sebagian tidak dibaca lagi), tidak memiliki tanggung jawab tetapi menerima gaji, bonus, tantiem, Â miliaran rupiah setiap tahunnya plus berbagai fasilitas lain termasuk kesehatan dan golf. Mereka hanya datang rapat dua atau tiga kali dalam setahun dan tanda tangan saja.Â
Kita berharap Garuda bukan seperti itik Buruk Rupa lagi tetapi itik dengan telur emas. Garuda, yang dengan kepemilikan pemerintah tinggal senilai Rp6,4 triliun saja, bukan saja tidak akan pernah lagi membebani keuangan negara tetapi juga dapat selalu menyetor dividen untuk negara.
Diatas kesemua itu, Menteri BUMN wajib menerapkan prinsip Kwartet DPPE secara konsisten bukan saja untuk Garuda Indonesia tetapi juga untuk seluruh BUMN (137) dan anak cucunya (1.000). Kwartet DPPE tersebut adalah:
(i) developing a sound performance-monitoring system
(ii) promoting financial and fiscal discipline
(iii) professionalizing SOE boards, dan
(iv) enhancing transparency and disclosure;
lihat juga: Mengurai Benang-benang Kusut BUMN, Yogyakarta: Deepublish (2017). Klik disini.
lihat juga: Menggali Poin Sentral Visi Indonesia Jokowi
https://www.kompasiana.com/almizan59323/5d2c5118097f36279b196832/visi-indonesia-jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H