Kata oposisi terus bergulir. Terus bergulir naik dan turun dari tahun ke tahun dalam bingkai siklus Pemilihan Umum Presiden. Sangat brisik pasca Putusan KPU 30 Juni 2019 yang menetapkan Jokowi - Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih untuk periode 2019 - 2024.Â
Walaupun demikian, oposisi tersebut sering diartikan tidak harus selalu menolak kebijakan/program pemerintah. Kebijakan/program pemerintah yang pro rakyat tetap akan mereka dukung. Mereka hanya akan menolak dan/atau mengkritisinya jika itu tidak pro rakyat. Posisi seperti ini disuarakan mulai dari, antara lain, Megawati Soekarnoputri di Era Presiden SBY dan terus diulang-ulang oleh Prabowo Subianto dan para pendukungnya.Â
Posisi seperti tersebut di atas adalah posisi yang kurang nendang kata gen mileneal zaman now. Oposisi itu seharusnya memiliki warna sendiri terutama dalam aspek misi, program, dan eksekusi. Aspek visi tidak begitu penting alternatifnya sebab visi antara satu Parpol (koalisi Parpol) dengan Parpol (koalisi Parpol) lainnya relatif sama. Misal, visi Indonesia Maju koalisi pendukung Capres JokowiMa'ruf sebetulnya tidak begitu berbeda dengan visi Adil Makmur koalisi Capres PrabowoSandi.
Negara yang maju adalah negara yang dapat dikatakan sebagai negara yang adil dan makmur. Negara itu, misalnya, adalah Singapura, Australia, Jepang, Korsel dan Amerika Serikat. Negara yang adil makmur ya jelas negara maju. Apa ada negara yang adil makmur tetapi bukan negara maju dan hanya sebagai negara terbelakang atau negara yang sedang berkembang?
Dengan demikian, tong hilap, tidak salah lagi, kaum oposan perlu memiliki misi alternatif, program alternatif, dan eksekusi alternatif, yang terpersepsi super dibandingkan  dengan yang dimiliki oleh petahana.  Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan Pilpres berikut. Dengan kata lain, tujuan akhir dari kampanye "alternatif" dari kelompok oposan tersebut adalah merebut kekuasaan. Untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dalam siklus Pemilu yang berikutnya.
Alternatif tersebut misalnya pembangunan jalan bebas hambatan tidak berbayar sebagai alternatif dari jalan tol berbayar JokowiJK saat ini. Atau, ruas-ruas konektivitas UtaraSelatan, yang dikampanye oleh Ekonom UI Faisal Basri, Â sebagai alternatif BaratTimur yang dikerjakan sejauh ini.
Alternatif lain misalnya jabatan presiden NKRI hanya satu periode bukan dua periode seperti yang berlaku di Era Reformasi sekarang. Tujuannya adalah untuk mengendalikan penggunaan sumber-sumber negara yang langkah oleh petahana dalam memenangkan kontestasi Pilpres. Dengan kata lain, ini bertujuan untuk menjadikan a level playing field Pilpres. Alternatif ini disuarakan oleh antara lain Yusril Mahendra (PBB) dan Andre Rosiadi (Gerindra).
lihat juga: Apakah Proses Pilpres Indonesia Cukup Jurdil?Â
Alternatif yang lain lagi, misalnya, ambang batas parlemen dan ambang batas Pilpres. Banyak disuarakan agar masing-masing ambang batas tersebut diperlonggar dan/atau dihapus sama sekali. Ini antara lain disuarakan oleh Denny Indrayana (Demokrat).
lihat juga: Konvensi Partai Menuju Pilpres 2024, Jelas SexyÂ
Tak kalah pentingnya adalah alternatif pembenahan BUMN. BUMN yang kesan sekilas seperti agen pembangunan tetapi sebetulnya, secara agregasi, tidak lebih adalah predator keuangan negara kita.
lihat juga:Â PR Karut Marut BUMN Jokowi - Ma'ruf AminÂ
Dengan demikian, alternatif bagi oposan sangat melimpah ruah. The guns are so plentiful. Tinggal mencari orang dan/atau Parpol untuk menggunakannya. Ladang emas alternatif-alternatif tersebut melimpah ruah. Yang diperlukan oleh kelompok oposan adalah tinggal merajutnya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H