Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kecurangan Pemilu dan Amien Rais's People Power

10 April 2019   21:04 Diperbarui: 11 April 2019   09:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Viral Amien Rais People Power di awal April ini. Inews semalam menghadirkan Adian Napitulu, Hamdan Zoelva, dan satu panelis lain dari kubu Paslon 01 untuk membahas isu kecurangan Pemilu 2019 dan ancaman Mas Amien itu dalam acara TalkShownya. Puluhan URL link google search menyajikan berita terkait Amien dan People Power. Hal yang serupa juga terjadi di Sosmed WA dan Facebook.

Sebaliknya, Kompasiana sepi-sepi saja. Penulis coba cari di jendela cari Kompasiana dengan kata kunci "Amien Rais Pepople Power," dan tidak menemukan apa-apa. Hal yang serupa untuk cari lewat kategori Kotak Suara. Hanya ada satu artikel dari puluhan artikel dalam minggu ini. Kategori politik mungkin? wis podo ae. Ra nduwe!

Nihil Potensi Kecurangan Perhitungan/Rekapitulasi Suara Pilpres

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jualan Amien Rais untuk melakukan People Power itu tidak cukup menjual. Tidak cukup menjual karena publik tidak begitu menghargai lagi tokoh Reformasi 98 ini. Lebih jauh lagi, publik, penulis kira, tidak percaya bahwa Paslon 01 perlu berbuat curang untuk memenangkan Pilpres 2019 ini. 

Penulis sendiri seratus persen tidak percaya ada kecurangan, wabil khusus, dalam rangkaian penghitungan dan rekapitulasi suara Pilpres 2019. Tidak akan ada kecurangan itu baik untuk kemenangan Paslon 01 maupun untuk Paslon 02. Kenapa?

Kunci utama kecurangan itu adalah kurangnya ketersediaan saksi. Nyatanya, masing-masing Paslon memiliki jumlah saksi yang mencukupi mulai untuk tingkat TPS hingga ketingkat diatasnya PPK (Kecamatan) hingga KPU Pusat. Pintu kecurangan tertutup sama sekali.

Sangat Tingginya Potensi Kecurangan Perhitungan/Rekapitulasi Suara Pileg

Walaupun demikian, hal sebaliknya untuk Pileg baik untuk DPR/DPRD, dan, lebih-lebih untuk DPD. Hanya beberapa Caleg DPD saja, jika ada, yang mampu menyediakan saksi untuk seluruh TPS di provinsi nya. Hal yang serupa berlaku juga untuk Caleg DPR/DPRD walaupun dengan jumlah TPS yang jauh lebih kecil dari jumlah TPS Caleg DPD. Terbatasnya saksi yang dapat disediakan oleh Caleg DPR/DPRD bermuara pada sangat besarnya peluang kanibalisme suara. Saling curi suara sesama Caleg dalam partai yang sama.

Dorongan untuk "membeli" suara seperti tersebut diperkuat dengan sangat mahalnya untuk mengumpulkan suara dari masyarakat secara langsung.   Biaya yang dapat mencapai Rp36 miliar jika "membeli" ke pemilih secara langsung tentu saja dapat dipangkas habis-habisan jika berhasil membeli suara di para penyelenggara pemilu tersebut. 

Coba kita lihat kasus Politisi Golkar Bowo Sidik. Anggota DPR dan Caleg DPR 2019 ini kena OTT KPK beberapa waktu yang lalu. KPK menyita uang tunai Rp8 miliar dalam 400.000 amplop. 

Kemana uang itu akan diserahkan? Penulis yakin tidak seluruhnya akan diterima oleh pemilih sebagai imbal jasa mencoblosnya dan oleh Timses untuk gaji dan biaya operasionalnya. Sebagian lagi, kuat dugaan penulis,  untuk para penyelenggara Pemilu itu. Mereka "membeli" suara di TPS dan/atau tingkat KPU yang lebih tinggi. 

Tekanan untuk berbuat curang juga muncul bagi banyak partai baru untuk memenuhi Parliamentary Threshold (PT) 4%. Perlu suara sekitar lima juta suara untuk memenuhi itu. Jika rerata "biaya" per suara jika dikumpulkan "langsung" dari pemilih adalah Rp300 ribu, maka diperlukan uang sebesar Rp1,5 triliun untuk lolos PT. Tunggu itu belum cukup, ada 800 ribu TPS seluruh Indonesia. Jika biaya saksi per TPS adalah  Rp300 ribu, maka diperlukan uang sebesar Rp240 miliar untuk saksi TPS saja. Saksi di Kecamatan? Kabupaten? Provinsi? dan Pusat? dengan demikian biaya untuk lolos PT adalah sekitar Rp2.0 triliun.

Tekanan Parpol baru untuk mencari biaya yang lebih rendah jelas sangat mungkin sekali. Peluang yang paling mungkin adalah "membeli" suara di Penyelenggara Pemilu. Itu bisa di tingkat terendah, TPS, dan bisa juga sampai di tingkat atas KPU Pusat.

Kenapa potensi celah kecurangan ini layak diperhatikan?

Potensi itu terbuka lebar karena keamanan bisnis proses rekapitulasi suara hanya bertumpu pada para saksi. Hanya bertumpu pada saksi mulai dari saksi TPS, saksi di PPK Kecamatan, hingga saksi di KPU Pusat. Jenjang KPU yang lebih tinggi tidak melakukan validasi, pencocokan, lagi atas hasil rekapitulasi suara dari jenjang KPU yang lebih bawah. Misal, KPU Kabupaten tidak melakukan validasi atas rekap yang dibuat oleh KPU Kecamatan, dan, KPU Kecamatan (PPK) tidak melakukan validasi atas rekap yang dibuat oleh Petugas TPS/KPPS.

PPK hanya melihat apakah Rekap TPS (C1 Hologram) sudah/belum  ditandatangani oleh saksi-saksi dan petugas TPS yang cukup dan benar. Jika itu sudah dilakukan, maka PPK dan saksi-saksi terkait bisa melakukan Rekapitulasi suara desa (Formulir DAA1). Selanjutnya, petugas KPU Kabupaten juga hanya memperhatikan tanda tangan saksi-saksi dan petugas PPK (Formulir DA1). Jika ini sudah terpenuhi, maka mereka lanjut mengerjakan Rekap Kabupaten. Pola ini terus berlanjut di KPU Provinsi dan KPU Pusat Jakarta.

Dengan demikian, jika terjadi persengkongkolan para saksi dengan petugas TPS/KPPS hampir mustahil dideteksi oleh PPK Kecamatan. Selanjutnya, jika terjadi persengkongkolan para saksi dengan Tim PPK Kecamatan, maka hampir mustahil itu dapat dideteksi oleh Tim KPU Kebupaten. Dan seterusnya dan seterusnya hingga ke KPU Pusat Jalan Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat.

Potensi jual beli suara di para penyelenggara Pemilu itu berulang kali Penulis posting baik sebagai artikel penulis sendiri maupun sebagai tanggapan pada artikel Kompasianer lain yang terkait.  Sejauh ini belum ada yang menyanggahnya.

Sebagai referensi, silahkan berkunjung ke "Urgensi Digitalisasi Pemilu Indonesia," dan/atau "Paradoks Jokowi 4.0 dan Dedigitalisasi Pemilu 2019."

Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

N.B. ini akun sementara Almizan Ulfa. Akun ini gagal login karena, kelihatannya, link login Kompasiana dengan Facebook terputus. Penulis masih menunggu bantuan Tim Kompasiana untuk perbaikannya. Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun