Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

MUI, Mohon Fatwa Haram Korupsi dan Money Politics!

5 April 2019   15:48 Diperbarui: 6 April 2019   08:12 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Haram uang Caleg itu.

Korupsi di Indonesia masih demikian parah. Persepsi ini antara lain diindikasikan oleh kebrisikan Kompasianer menulis Artikel Korupsi.  Dengan menggunakan kata kunci "korupsi" di jendela pencarian Kompasiana, penulis temukan lebih dari 50 artikel terkait korupsi dalam kurun waktu 2 Maret hingga 5 April hari ini. Dengan demikian, secara rerata, hampir dua artikel korupsi yang ditulis oleh Kompasianer setiap hari nya. Penulis juga yakin ada banyak lagi artikel Kompasianer terkait isu korupsi yang tidak terjaring dengan kata kunci itu.

ARTIKEL KORUPSI KOMPASIANER

Kompasianer Lea Cattleya, misalnya, menulis artikel dengan judul " PrestasiKPK yang dilupakan, Korupsi Gagalkan Demokrasi." Disini secara implisit dan eksplisit Lea menyatakan korupsi di Indonesia masih sangat parah terlepas dari prestasi gemilang KPK. Lea juga menyatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (CPI) yang diterbitkan oleh Transparancy Internasional (TI) relatif stagnant.

Bahkan menurut Lea  posisi Indonesia menurun berdasarkan indikator peringkat CPI yang pada tahun 2017 peringkat Indonesia itu masih berada di 86 turun ke posisi 89 di tahun 2018, meski skornya meningkat dari 37 menjadi 38.  Skor ini menurut Lea dibawah rata-rata skor negara dengan kadar demokrasi yang masih lemah (skor 49). Skor 37 dan 38 itu umumnya untuk negara-negara yang baru saja menerapkan beberapa elemen demokrasi (rerata skor 39), lanjut Lea. 

Beberapa artikel Kompasianer yang lain itu dengan keriuan aura dan/atau dengan judul yang serem-serem, penulis sajikan disini. 1. Wakijo Salim dengan judul "APBN Bocor Buktikan Korupsi Indonesia Sudah Stadium 4."; 2. Ade Pian Arista dengn judul "Tiga Partai Langganan Korupsi Dukung Jokowi."; 3. Irwan Rinaldi Sikumbang dengan judul "Hari Gini Masih Ada Direktur BUMN Korupsi?"; 4. Adrian Diarto dengan judul "Survei 'Kompas' tentang Kandidat Presiden dan Indeks Korupsi."; 5. Adrian Susanto dengan judul "Menagih Janji Pemberantasan Korupsi Jokowi." Masih banyak lagi judul dengan aura serupa dan.atau mendapat apresiasi Kompasiana dengan rating Pilihan dan/atau HL.

JUAL BELI JABATAN DI INSTANSI PEMERINTAH

Kebisingan itu juga terdengar di banyak venues yang lain. Misal, isu jual beli jabatan di instansi pemerintah viral dalam minggu-mingu ini dan seprti kita maklumi bersama bahwa jual beli jabatan pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Lihat itu KPK meng-OTT Ketum PPP, Muhammad Romahurmuziy, alias, Rommy, oleh karena diduga kuat terlibat jual beli jabatan di Kementerian Agama.

Gayung pun bersahut, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi menduga 90 persen lembaga negara terjangkit virus jahat ini. Reaksi spontan sebaliknya muncul antara lain dari Kementerian PANRB. Menteri PANRB itu, Syarifuddin, menyatakan bahwa angka itu terbalik. Menurutnya jual beli jabatan itu hanya 10 persen dan bukan 90 persen seperti dikatakan Sofian Effendi. 

Kompasianer Anda pilih yang mana? Jual beli itu pada tingkat 90 atau 10 persen? Penulis sendiri ada pada posisi 90 persen!

TRILOGI ANTI KORUPSI

Jika kita kembali pada frasa riuhnya OTT KPK tidak membuat jerah para koruptor, maka patut kita pertanyakan kenapa demikian? Ini sebetulnya sudah dimaklumi oleh KPK. KPK menyatakan bahwa korupsi hanya dapat dikendalikan pada tingkat terendah jika Trilogi Anti Korupsi dijalankan secara simultan. Program Pencegahan, Pendidikan, dan Penindakan harus dilakukan secara simultan. Penulis kira lebih dari 90 persen kegiatan KPK hanya pada logi Penindakan. 

TEKNOLOGI ANTI KORUPSI CLOUD HOSTING/COMPUTING

KPK juga pernah mengkampanyekan bahwa peran teknologi sangat penting dan sangat efektif dalam pencegahan korupsi. Penulis baru-baru ini menyampaikan gagasan penggunaan teknologi aplikasi berbasis cloud hosting dan cloud computing, klik disini,  untuk melakukan perhitungan dan rekapitulasi suara Pemilu di Indonesia. Teknologi ini sangat ampuh mengendalikan potensi kecurangan dalam perhitungan dan rekapitulasi suara Pemilu mulai dari tingkat TPS, PPK (Kecamatan), KPU Kabupaten, KPU Provinsi, hingga KPU Pusat di Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat. Lihat, misalnya, artikel "Bandit Bergentayangan di Pemilu 2019," klik disini.

Selain itu teknologi ini akan dapat menyelesaikan pekerjaan perhitungan dan rekapitulasi suara secara nasional tersebut hanya dalam waktu 3 (tiga) jam setelah TPS tutup. KPU untuk Pemilu 2019 ini memerlukan waktu sekitar 2 (dua) bulan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut secara manual. Belum cukup sampai disini, teknologi aplikasi cloud hosting/computing itu juga hemat biaya. Cukup dengan beberapa miliar rupiah saja dan tidak beberapa puluh triliun (Rp 24,9 triliun untu Pemilu 2019 saja) seperti yang dihabiskan oleh KPU sejauh ini.

Kompasianer mungkin ada yang bertanya koq KPU tidak memanfaatkan teknologi ini? Penulis, no comment. Mungkin ada Kompasianer yang bisa menjawab pertanyaan itu?

FATWA HARAM MUI

Logi penindakan okay. Logi teknologi okay. Sekarang logi pendidikan. Pada logi pendidikan ini peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat penting. Pesan moral  MUI bahwa money politics haram, misalnya, akan memiliki dampak pencegahan yang sangat dahsyat. Kampanyekan dalam pemilihan kepala desa bahwa menerima uang dan/atau berbagai hadiah dari Calon Kades adalah haram. Kampanyekan juga bahwa menerima uang dan/atau hadiah dari calon Bupati/Walikota/Gubernur adalah haram. Dan, sekarang waktu paling tepat untuk mengkampanyekan bahwa SANGAT HARAM menerima uang dan/atau berbagai hadiah dan/atau sumbangan dari Caleg siapa pun dalam Pemilu 2019 nanti.

Bagaimana dengan Paslon Pres/WP? Agh, saya kira tidak ada money politics untuk pemilih/konstituen di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun