Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Ini Loh Simpul-simpul Rawan Digital Perhitungan Suara Pemilu 2019

6 Maret 2019   18:14 Diperbarui: 8 Maret 2019   14:31 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Digital World. Sumber: pixabay

Amien Rais dan Fahri Hamzah, seperti dilansir, misalnya, oleh CNNI, 6 Maret 2019, sama-sama melontarkan potensi kecurangan digital KPU dalam Pilpres 2019. Potensi kecurangan tersebut menurut mereka berdua ini menguntungkan Jokowi-Maruf dan dengan demikian merugikan Prabowo-Sandi. 

Amien bahkan mendesak KPU untuk segera melakukan audit forensik IT KPU dan jika nantinya ditemukan ketidakberesan, maka Prabowo-Sandi akan mundur dari Pilpres 2019 ini. 

 A name makes news itu quote jurnalist. Amien memang punya nama. Siapa yang tidak mengenal Prof Emiretus ini, yang menurut banyak kalangan a very controversial man lately.

Celetukan Prof Amien ini dipublikasikan oleh banyak media walaupun Dewan Pembina Tim BPN Prabowosandi ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dan/atau bukti permulaan yang memadai.  

Desakan Mas Amien ini didukung oleh Fahri Hamzah, DetikNws, 3 Maret 2019, yang juga tokoh nasional kontroverersial. Fahri mendukung Amien karena memiliki bukti ada sekitar 15 juta orang yang terdaftar dalam sistem DPT KPU tetapi tidak valid.

Lha jika data itu memang tidak dan/atau belum valid, maka kenapa langsung ditarik kesimpulan ini memang disengaja oleh KPU untuk menguntungkan Jokowi-Maruf?

Lebih jauh Fahri menuduh tingginya potensi kecurangan digital dalam Pemilu 2019. Apa ya persisnya kecurangan digital itu?

Lebih jauh lagi, Cawapres Sandi juga mendukung desakan Audit Forensik Duo Amien Fahri tersebut. Alasan yang dikemukakan nya adalah untuk menjamin sistem IT KPU tidak diretas atau hacker proof. 

Maksudnya penulis kira ada pihak luar yang tidak dikenal memiliki kapasitas untuk menjebol sistem IT KPU. Mereka dengan kecanggihan nya dapat mengakses sistem IT KPU dari lokasi yang tidak dikenal (remote system)  sehingga dapat memanipulasi hasil perolehan suara Pilpres 2019 untuk memenangkan Paslon 01 Jokowi-Maruf. 

Desakan dan/atau tuduhan potensi kecurangan digital tersebut ditolak oleh KPU seperti dilansir oleh  CNNI, 3 Maret 2019. Disini Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyatakan hasil akhir Pemilu disyahkan berdasarkan verifikasi manual secara berjenjang. Dalam kata-katanya: "Hasil akhir pemilu itu tidak dilakukan berdasarkan teknologi informasi. Jadi hasilnya itu berdasarkan kertas berjenjang dari tingkat TPS, kabupaten, provinsi hingga nasional."

Sepanjang pengalaman dan pemahaman penulis, data entry perolehan suara Pemilu itu hanya dan hanya dilakukan di kecamatan. Data entry itu di input oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam jaringan sistem IT KPU Nasional dengan menggunakan software spread sheet excel.

Data itu kemudian direkapitulasi secara otomatis oleh excel dan menghasilkan Rekap perolehan suara kecamatan (Rekap Kecamatan) cascading atau filtering, atau dengan kata lain dapat diuraikan,  berdasarkan Desa/Kelurahan hingga TPS. 

Rekap Kecamatan tersebut langsung diterima oleh sistem IT KPU Nasional di Jakarta. Rekap Kecamatan tersebut secara otomatis digabungkan oleh Mr Excel menjadi Rekap Kabupaten/Kota, selanjutnya secara instant terkonsolidasi menjadi rekap Provinsi, dan penggabungan terakhir menjadi Rekap Nasional. Rekap nasional adalah hasil perolehan suara secara nasional atau seluruh Indonesia. 

Jadi apa maksud Komisioner KPU Wahyu Setiawan bahwa hasil Pemilu itu berdasarkan kertas berjenjang dari tingkat TPS, kabupaten, provinsi hingga nasional? Apakah kertas hasil perhitungan suara setiap Rekap Kecamatan dan/atau TPS (formulir C1) itu dikirim ke kabupaten/kota dulu untuk diperiksa dan dihitung kembali, kemudian dikirim ke provinsi untuk diperiksa dan dihitung kembali, dan terakhir dikirim ke Jakarta, lagi-lagi, untuk diperiksa dan dihitung kembali ?

Jelas bukan ini yang dimaksud oleh Komisioner KPU tersebut. Tidak mungkin untuk menghitung kembali jutaan dan puluhan juta Rekap Kecamatan dan/atau Formulir C1 baik di tingkat kabupaten/kota apa lagi di tingkat provinsi/nasional.

Input atau entry data hanya dan hanya sekali dilakukan dan itu dilakukan di kecamatan oleh PPK. Data Rekap seluruh kecamatan dalam satu kabupaten/kota digabungkan secara otomatis oleh software excel KPU Nasional menjadi Rekap Kabupaten/Kota, juga secara instant tergabung menjadi Rekap Provinsi, dan terakhir juga secara instant menjadi Rekap nasional.

Jadi pekerjaan kertas berjenjang apa yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten/Provinsi dan KPU Nasional? Dalam bahasa digital pekerjaan kertas itu tidak lebih dari pekerjaan validasi.

Mencocokan Rekap dalam sistem IT (Digital) KPU dengan Rekap kertas dalam format SK Paripurna KPUD secara berjenjang mulai tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Validasi Rekap Kecamatan untuk KPUD Kabupaten, validasi Rekap Kabupaten/Kota untuk KPUD Provinsi, dan terakhir validasi Rekap Provinsi untuk KPU (Nasional). 

POTENSI KECURANGAN PILPRES

Potensi kecurangan nya dimana? Sebetulnya kecil sekali atau dapat dikatakan nihil. Masing-masing Tim Paslon sudah memiliki TIM IT Aplikasi Digital berbasis software spread sheet excel untuk mengawal perolehan suara tersebut mulai TPS hingga KPUD Kecamatan (PPK).

Masing-masing TIM IT Paslon sudah tahu hasil Rekap Kecamatan sekitar dua jam setelah seluruh TPS selesai melakukan perhitungan suara. Dengan kata lain, TIM IT masing-masing Paslonpres sudah mengetahui hasil Rekap Kecamatan jauh sebelum PPK melakukan entry data di KPUD Kecamatan. 

Tim IT dan/atau saksi-saksi masing-masing Paslonpres tinggal mengawal data entry angka perolehan suara yang ada di setiap formulir C1 yang dikerjakan oleh Tim IT KPUD. Masing-masing Tim Paslon tersebut juga sudah memiliki keluaran Rekap Suara Kecamatan dari Aplikasi masing-masing. 

Jika terjadi perbedaan antara Rekap Tim Paslon dengan Rekap PPK mereka akan merujuk ke Rekap Desa/Kelurahan. Jika masih terjadi ketidakcocokan mereka akan cocokan dengan Formulir C1 masing-masing TPS. 

Singkatnya, potensi kecurangan perhitungan suara Pilpres 2019 sangat kecil sekali atau bahkan dapat dikatakan nihil kecurangan. Kecurangan hanya mungkin terjadi jika ada Persengkokolan di KPUD Kecamatan. Persengkokolan Tripartiet: Tim Paslon 01, Tim Paslon 02, dan Tim PPK. 

Walaupun demikian, persengkokolan itu akan sia-sia sebab pusat IT masing-masing Paslon segera dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan. Juga, potensi hacker juga dapat diabaikan. Aplikasi masing-masing Tim paslon akan dengan segera mengetahui jika ada perubahan data yang disebabkan oleh apa pun termasuk oleh ulah hackers. 

POTENSI KECURANGAN PILEG

Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa masing-masing Tim Paslonpres sudah memiliki Aplikasi Perhitungan Suara. Dengan Aplikasi tersebut potensi kecurangan sangat kecil atau dapat dikatakan nihil.

Sebaliknya, potensi kecurangan perhitungan suara Pileg 2019 sangat besar. Hanya beberapa orang saja, jika ada, dari sekitar 40.000 Caleg DPR RI yang memiliki aplikasi termaksud. Kerawanan yang serupa juga berlaku untuk ratusan ribu Caleg DPRD dan ribuan Caleg DPD. 

Pengawalan suara di TPS tidak sulit karena sifat nya kasat mata dan dilakukan dengan tangan (manual) serta di saksikan oleh banyak saksi. Pengawalan perhitungan suara di kecamatan PPK mustahil dapat dilakukan dengan hanya memegang Formulis C1 TPS.

Betul waktu input data dapat dikawal dengan C1. Tapi, hasil penjumlahan suara spread sheet excel tidak mungkin dipantau dengan mata telanjang. Terdapat puluhan ribu cell penjumlahan untuk tingkat Desa/Kelurahan saja, belum lagi hingga ke tingkat kecamatan. 

Pengawalan perhitungan suara di kecamatan hanya dan hanya dapat dilakukan dengan aplikasi. Harga aplikasi tidak mahal dalam kisaran 20an juta rupiah. Yang runyamnya adalah mencari saksi, atau, lebih tepat nya, enumerator, orang yang perlu menginput data Formulir C1 di setiap TPS secara Online. Untuk Caleg DPR RI diperlukan lebih dari 10.000 enumerator untuk mengirimkan data TPS secara OnLine tersebut.

Honor 10.000 enumerator dengan tarif Rp100.000 saja membutuhkan uang sebesar Rp1 miliar! Jika tarif nya 200 ribu berarti dua miliar rupiah! dst.. dst.. dst.

Konsekuensi nya, sebagian besar Caleg, jika tidak seluruhnya, tidak memiliki aplikasi perhitungan suara termaksud. Nasib mereka ditentukan oleh hasil Rekap Kecamatan yang dikelola oleh PPK. Adalah logis sekali jika kita sering mendengar bahwa mereka bermain di PPK.  DISINILAH SIMPUL-SIMPUL POTENSI KECURANGAN PILEG 2019!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun