Banyak orang menokohkan Presiden Jokowi sebagai legend infrastruktur Indonesia. Demikian juga halnya jika banyak yang mengagumi Beliau terkait integritas Anti KKN. Namun, sisi minusnya perlu kita cermati juga. Misalnya, semakin mendekati akhir masa pemerintahannya terkesan beliau semakin lemah dan terlalu banyak kompromi. Ini, misalnya, dapat kita lihat dari rekam jejak bongkar pasang menteri/kebinet pemerintahan. Bongkar pasang, atau, bahasa kerennya reshuffle, Kabinet Kerja (sudah) dilakukan sebanyak empat kali!
Namun ini bukan menimpa Beliau saja. Hal yang serupa terjadi untuk Kabinet Gus Dur. Sebaliknya itu tidak terjadi sama sekali pada Kabinet Megawati dan terjadinya relatif kecil pada Kabinet SBY I dan II. Lebih minim lagi di masa Kabinet Pembangunan Presiden Soeharto. Dalam masa 32 tahun, Presiden Soeharto hanya satu dua kali saja merombak kabinetnya. Rujukan reshuffle kabinet sejak awal kemerdekaan dapat dilihat di "Siapa Presiden RI yang Paling Banyak Reshuffle Kabinet?"
Coba kita lihat Matrik Kabinet Reformasi dibawah ini. Tersaji rekam jejak reshuffle kabinet empat presiden reformasi mulai dari Gus Dur hingga Jokowi.
Sekarang coba kita lihat kolom Gus Dur - Kabinet Persatuan Nasional. Gus Dur perlu melakukan tiga kali reshuffle dalam masa pemerintahan singkatnya dari 26 Oktober 1999 s/d 9 Agustus 2001; 1 tahun 10 bulan. Reshuffle pertama ada delapan menteri yang diganti dan/atau dirotasi, berikutnya enam, dan terkahir empat menteri kabinet yang dicopot dan/atau direshuffle.Â
Hal itu patut diduga bersumber dari absennya Beliau dari struktur partai politik pendukung utamanya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Beliau tidak memiliki posisi syah (legal) apapun di PKB.
Hal yang serupa menimpa Presiden Jokowi. Absennya Beliau dari struktur organisasi PDIP bermuara pada tingginya tekanan politik untuk melakukan reshuffle. Hingga saat ini Beliau (terpaksa) melakukan 4 (empat) kali reshuffle. Lebih miris lagi, Beliau terpaksa mengizinkan Idrus Marham menduduki jabatan Menteri Sosial dan Air Langga Hartarto tetap di posisi Menteri Perindustrian, yang masing-masing tidak perlu melepas jabatan sebagai Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Golkar (diizinkan). Kritikan atas rangkap jabatan itu dapat dilihat, misalnya, di CNNI "Standar Ganda Politik Jokowi di Balik Rangkap Jabatan Menteri."
Fenomena Presiden Megawati juga terjadi di Presiden SBY. SBY hanya perlu melakukan dua kali reshuffle di Kabinet Bersatu I dan tiga kali di Kabinet Bersatu II. Hal ini tentunya patut diduga terkait dengan posisi formal Beliau sebagai pendiri dan Ketua Pembina Partai Demokrat (sekarang Ketum Partai Demokrat).
Dengan demikian, adalah penting sekali bagi Presiden Jokowi untuk bergabung dengan salah satu atau beberapa partai politik yang menjadi pengusung untuk Capres 2019. Posisi formal di partai (-partai) politik itu, misal, sebagai Ketua dewan Pembina, mempunyai tendensi yang sangat kuat untuk mengurangi tekanan untuk melakukan reshuffle kabinet jika nantinya menjadi Capres terpilih.
Sebagai catatan akhir, Capres yang lain seperti Prabowo Subianto, misalnya, jelas memiliki posisi yang sangat penting (Ketua Dewan Pembina) di partai besutannya sendiri, Partai Gerindra. Dalam hal Beliau menjadi Capres terpilih, penulis yakin tekanan untuk reshuffle tidak akan demikian kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H