Musim panen raya beras kelihatannya semakin mendekat. TribunNews.com, 29 Januari 2018 merilis berita Ketua MPR Zulkifli Hasan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan beberapa pejabat tinggi negara yang lain yang melakukan panen perdana padi di Kabupaten Banyu Asin, Sumatera Selatan. Gema panen raya semakin keras ketika Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan (SindoNews.com) bahwa puncaknya akan terjadi dalam bulan Februari dan Maret ini.
Gema panen raya itu tak pelak lagi mengungkit kembali kontroversi Keputusan pemerintah untuk mengimpor 500.000 ton beras di tahun 2018. Walaupun demikian, Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 11 Januari 2018 itu sebetulnya sudah berhasil meredakan kegalauan publik atas terus membumbung tingginya harga beras. Kenaikan harga beras sudah berhenti satu minggu kemudian, 17 Januari 2018, dan tingkat kenaikan itu terus menurun hingga 30 Januari 2018.Â
Lihat grafik indeks harga beras di bawah ini. Ini data harga beras medium IR-64 I di Pasar Induk Cipinang Jakarta dalam periode 1 Agustus 2017 - 30 Januari 2018.Â
Liputan6.com, 1 Februari 2018, melaporkan bahwa akan tiba beras impor dari Thailand dan Vietnam sebanyak 26.000 ton pada tanggal 11 Februari. Sisa volume dari rencana 500.000 ton baru akan masuk pada pengapalan-pengapalan yang berikutnya yang belum diumumkan oleh Perum Bulog.Â
Harga beras hampir dapat dipastikan akan terus turun seiring dengan masuknya beras impor tersebut. Sesuai dengan yang ditulis diatas, idealnya harga itu turun hanya sebatas HET Rp 9.450 per kg. Jelas harus diupayakan tidak lebih murah dari Rp 8.030 per kg, yang merupakan Harga Pembelian Pemerintah untuk Perum Bulog. Harga yang lebih murah dari Rp 8.030 akan mematikan para petani gurem.
Untuk mengatasi hal ini sebetulnya Bulog memiliki beberapa instrumen. Pertama, menunda pengiriman beras yang belum masuk Indonesia dan/atau menyimpan saja beras impor yang sudah tiba di gudang Bulog. Saran menyimpan saja beras impor itu sejalan dengan usulan Kepala Bulog (Beras Impor Baru Masuk Ke RI pada 11 Februari - SindoNews.com).
Beras ini nantinya dapat digunakan untuk penyaluran beras bersubsidi (Raskin/Rastra) dan/atau untuk dilepas ke pasar ketika harga sudah mulai merangkak naik kembali. Patokan untuk melepas cadangan beras itu dan/atau melakukan impor kembali adalah HET Beras seperti sudah disajikan diatas. Supaya tidak terlambat lagi, mekanisme pelepasan cadangan beras Bulog itu sebaiknya merujuk ke saran ini.
Kedua, jika hasil panen raya sangat baik harga beras petani dapat melorot menjadi sangat murah. Dalam konstelasi yang berlaku saat ini, Bulog perlu melakukan pembelian untuk mendongkrak harga beras petani tersebut. Harga pembelian pemerintah (Bulog) itu (HPP Beras) adalah Rp 8.030.- per kg. HPP ini, yang merujuk ke Perpres Nomor 48/2016, Â perlu segera diperbaiki karena selain masa berlakunya hanya untuk periode 7 Agustus - 31 Desember 2017, harganya juga mungkin sudah tidak pas lagi seperti terlalu murah karena sudah meningkatnya biaya produksi petani.
Terlepas dari sudah expire-nya HPP dan tingkat harga yang terlalu rendah, penulis lebih concern dengan kapasitas Bulog. Ini antara lain dapat dilihat dari porsi cadangan beras Bulog yang hanya 11.10 persen dari jumlah cadangan beras nasional. Porsi yang lebih besar dikuasai oleh pedagang beras dan petani yang masing-masing sebesar 16.30 persen dan 60.70 persen.
Potensi pembengkakan kebutuhan dana PMN memang sepatutnya diantisipasi seiring dengan semakin membesarnya potensi panen raya yang semakin raya untuk tahun-tahun mendatang. Coba lihat itu proyek-proyek besar infrastruktur pertanian yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dewasa ini. Misal, dari Anggaran Kementerian PU-Pera di tahun 2016 sebesar Rp86 triliun, dalam porsi yang besar sudah digelontorkan untuk rehabilitasi jaringan irigasi seluas 216.000 Ha, dan pembangun atau peningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan air baku sebesar 7,09 meter per detik.
Selanjutnya, di tahun 2018, anggaran sumber daya air kementerian ini dilokasikan sebesar Rp37,3 triliun. Ini merupakan bagian dari grand planing sektor sumber daya air, Kementerian PUPR untuk membangun 47 bendungan, 11 di antaranya sudah siap, dan 26 sedang status on-going. Selain itu, grand planing kementerian ini juga akan membangun 54.000 ha jaringan irigasi baru dan 54 pembangunan embung baru.
Coba kita lihat skenario proyek-proyek besar tersebut berlangsung secara sukses baik dari sisi fisik maupun ketepatan lokasi dan lain sebagainya sehingga hasil panen raya memang raya dan akan terus bertambah raya dalam tahun-tahun mendatang. Ke mana hasil panen padi itu akan dilempar?
Coba kita lihat pengalaman negara Tiongkok, misalnya. Negara yang dulunya terkenal dengan sebutan negara tirai bambu ini pernah memiliki lembaga penyanggah stok pangan nasional seperti Bulog, yang juga dibiayai oleh anggaran negara. Lembaga ini digelontorkan uang dalam jumlah yang sangat besar yang serupa denga Bulog di Era Orba yang mendapat dukungan KL BI dalam jumlah yang juga sangat-sangat besar.Â
Sama seperti Bulog Orba, lembaga penyanggah pangan Tiongkok ini terus saja diperintahkan menyerap hasil panen petani dari tahun ke tahun dan sekitar tahun 1999/2000, rasanya, sudah tidak mampu lagi menampung volume padi dan beras yang demikian banyaknya. Stok beras dalam jumlah yang besar sudah membusuk, berulat dan berkutu serta apek.Â
Kemudian, diputuskan stok beras itu diekspor dengan harga diskon besar-besaran. Tugas lembaga penyanggah pangan ini kemudian dipangkas habis dan hanya menyisahkan tugas untuk bantuan bencana alam. Kran ekspor dan impor pangan termasuk beras dibuka untuk pedagang, koperasi, dan petani. Hasilnya, harga pangan utamanya beras dan gandum stabil di satu sisi dan di sisi lain petani terlindungi serta tidak ada sama sekali membenani keuangan negara.Â
Sekarang kita kembali lagi ke tugas Bulog zaman now. Menurut intuisi penulis, pemerintah akan menerbitkan perintah ke Bulog untuk memperbesar pembelian gabah dan beras petani dalam hal panen raya yang lebih raya itu memang menjadi kenyataan dalam tahun-tahun mendatang. Beberapa hal yang mentrigger intuisi tersebut adalah sebagai berikut.Â
Pertama, tahun 2018 dan tahun 2019 adalah tahun politik. Pembelian beras dan gabah petani dalam jumlah yang besar mengandung political appeals yang tinggi. Kedua, melengkingkan keberhasilan swasembada pangan juga penting sekali di tahun-tahun politik ini, dan ketiga sektor perdagangan beras kita belum siap untuk membuat deal=deal eskpor beras.Â
Namun, contoh buruk negeri tirai bambu seperti disebutkan di atas tidak perlu diikuti. Pemerintah perlu menyiapkan beberapa skenario jitu agar hasil panen beras petani dapat dilempar ke pasar internasional dan bukan ke Gudang Bulog.Â
Berdayakan Saudagar beras dan koperasi ekspor kita. Bantu mereka dengan perundingan G to G dan selebihnya lepaskan mereka untuk melakukan dealsB to B. Trik barter seperti ini pernah dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie dulu untuk barter beras ketan Thailand dengan pesawat udara produksi Nurtanio. Â Jangan beri hak eksklusif monopopli ekspor beras ke Bulog. Cukup untuk hak eksklusif impor beras saja.Â
Mari kita simak terus perkembangan perberasan nasional Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H