Sedangkan Listiyarini et.al  merujuk ke analisis Husein Sawit yang merupakan Prof Riset (Emeritus, rasanya) Kementerian Pertanian. Disini dikatakan bahwa Cadangan Beras Pemerintah (CBP) harus disimpan dan dikelola oleh Bulog sejumlah 1,3 juta ton per tahun. Dikatakann juga bahwa CBP akan dikeluarkan untuk keperluan tiga hal: (i) ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus; (ii) operasi pasar (OP) ketika harga beras bergejolak tinggi, dan (iii) untuk bantuan internasional. Dengan demikian, menurut Sawit, jumlah itu diluar dari stok beras Bulog yang digunakan untuk beras bersubsidi Raskin (beras untuk orang miskin) yang sekarang dinamakan Rastra. Perlu diingat artikel ini diterbitkan oleh Investor Daily pada tanggal 19 Oktober 2016.
Penulis tidak begitu resistent untuk butir (i) dan (iii) tetapi sangat untuk butir (iii). Hal ini mengingat operasi pasar Bulog tidak pernah berhasil menstabilkan harga beras dan hanya meludeskan uang negara secara sia-sia. Lihat kasus di Kendal ini yang merefleksikan masih tetap tingginya harga beras walaupun Bulog sudah berulang kali melakukan operasi pasar. Pliiis lihat juga kasus Jombang di bulan Desember 2017. Selanjutnya lihat juga beberapa kasus serupa di beberapa tahun ke belakang yang agak lama, misal, kasus OP Bulog di tahun 2006. Bukti kegagalan OP Bulog di tahun 2006 misal dapat dirujuk ke pernyataan Pangestu dan Apriantono yang dirilis oleh DetikFinance.com.
Lebih jauh lagi, adakah kita pernah mendengar berapa besar volume beras dalam kegiatan operasi pasar Bulog itu? Atau, adakah kita pernah mengakses informasi volume beras untuk operasi pasar itu dari sumber langsung Bulog? Misalnya, dari website Bulog.
Selanjutnya, coba kita lihat perkembangan Cadangan Beras di Indonesia. Menurut OkezoneFinance Cadangan Beras Nasional (CBN) posisi 21 Maret 2017 adalah sebesar 1,7 juta ton. Dari jumlah ini, 271.000 ton merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ada di Perum Bulog. Jumlah ini lebih tinggi dari posisi yang sama untuk tahun 2016 yang hanya 260.000 ton. Data itu dikutip media ini berdasarkan penjelasan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.
Selanjutnya, Republika melaporkan volume pembelian beras Bulog. Pada posisi 16 November 2017, dari target pembelian sebanyak 3,2 juta ton setara beras, Bulog baru berhasil membeli sejumlah 2,1 juta ton. Angka itu didapat Republika berdasarkan keterangan dari Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Karyawan Gunarso, di Banyumas, pada tanggal 16 November 2017. Perlu diingat bahwa angka 2,1 juta ton itu termasuk beras subsidi untuk orang miskin yang sekarang dinamakan Rastra dan bukan Raskin lagi.
Untuk melihat prediksi CBB (Cadangan Beras Bulog) tahun 2018, coba kita lihat info dari TribunNews 17 Januari 2018. Disini dikatakan bahwa sudah ada alokasi APBN 2018 sebesar Rp 2,5 Triliun untuk pembelian CBP. Nilai anggaran tersebut kira-kira setara dengan 270 - 300 ribu ton CBP.
Saat ini ( 17 Januari 2018) pemerintah masih memiliki sisa stok CBP dari tahun  2017 sebesar 150 ribu ton. Dengan demikian, boleh kita simpulkan bahwa CBP di tahun 2018 berjumlah sekitar 450 ribu ton. Sebagai catatan, TribunNews, seperti halnya Republika diatas, menerima info ini berdasarkan keterangan lisan Direktur Operasi Pelayanan Publik Bulog, Karyawan Gunarso.
Sampai disini kita belum dapat menentukan seberapa besar Cadangan Beras Nasional (CBN) Indonesia sebaiknya. Kita dengan demikian belum juga memiliki kapasitas untuk menentukan distribusi ideal pemegang CBN itu. Untuk itu coba kita lihat distribusi tersebut berdasarkan hasil seminar FAO di India tahun 2016 seperti tersaji pada tabel dibawah ini.Â
Cadangan Beras Nasional Indonesia: Posisi 30 September 2015
Langkah yang cerdik diterapkan oleh Prof B.J. Habibie. CBB cukup untuk keperluan darurat saja seperti bencana alam. Jumlahnya hanya sekitar 200 - 350 ribu ton setahun. CB selebihnya, biarkan saja RT petani, pedagang, dan lain sebagainya itu yang menyimpannya.
Namun, klep penyelamat harus dijamin dapat bekerja secara sempurna. Klep tersebut adalah kran impor beras yang buka tutupnya diotomisasi dengan tarif bea masuk impor beras. Tarif dinaikan jika harga dalam negeri mulai merangkak naik dalam waktu satu dua minggu. Tarif diturunkan jika kondisinya berbalik; harga merayap turun dalam waktu satu dua minggu.