Lantas, banyak yang berpikir kenapa tidak ditunggu tahun 2021 saja? Kurang dari lima tahun lagi kontrak FI akan berakhir. Pada waktu itu tambang Grasberg, Timika, Papua itu seratus persen milik Pemerintah. FI tidak memiliki hak apapun atas tambang Grasberg ini. Tinggal sekarang Pemerintah memutuskan apakah izin operasi FI mau diperpanjang atau tidak.
Memang betul apa yang ditulis oleh Aris Prasetyo (Kompas, 5 September 2017) bahwa kondisi darurat akan sangat mencekam jika keputusan untuk TIDAK memperpanjang izin operasi FI baru dilakukan di tahun 2021. Produksi tertunda dalam waktu yang tidak dapat dipastikan dan Freeport harus memindahkan asetnya di wilayah pertambangan Grasberg, Timika Papua, dalam waktu satu bulan.
Namun, tidak demikian halnya jika keputusan diperpanjang tidaknya izin operasi FI, yang izin KK-2 akan berkahir di tahun 2021, itu diambil sekarang. Masih ada waktu sekitar lima tahun untuk persiapan masa transisi. Dan, biaya persiapan transisi itu tentunya tidak akan mencapai puluhan triliun rupiah. Â Selain itu, buang ambisi untuk memiliki 51% saham FI saat ini, perpanjang izin ekspor konsentrat tembaga FI dengan tarif bea keluar tetap pada tingkat 5%.
Hal yang paling krusial untuk dipertimbangkan dalam masa transisi ini adalah apakah FI dan/atau perusahaan tambang yang lain yang berminat membeli FI masih feasible untuk beroperasi pasca 2021 dengan kewajiban membangun smelter dan/atau larangan eskpor konsentrat tembaga masih dipertahankan. Pembangunan dan pengoperasian smelter ini membutuhkan biaya yang tinggi di satu sisi dan di sisi lain nilai tambahnya relatif sangat kecil. Menurut sirkular FI "Berita Kita/2014" nilai tambah pengolahan konsentrat tembaga/emas menjadi katoda tembaga/emas hanya 7%. Berbeda dengan nilai tambah mengolah bijih logam menjadi konsentrat tembaga yang besarnya 93%.
Beberapa referensi lain juga menyatakan bahwa dibutuhkan skala ekonomi yang sangat besar agar operasi smelter plants menjadi feasiblesecara ekonomi. Berdasarkan fakta ini, maka hanya ada beberapa smelter di dunia, dan yang terbesar berada di Cina.
Last but not least, menarik juga diperhatikan bahwa selama ini, sudah sekitar 50 tahun, tidak ada investor yang terdengar berminat membangun smelter plants di Indonesia. Â Ini mengindikasikan bahwa smelter tidak feasible untuk dioperasikan di Indonesia, yang berkemungkinan disebabkan volume cadangan bijih di Timika itu tidak cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan pasokan smelter untuk dapat beroperasi secara ekonomis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI