Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tafsir Al-Maidah 51, ke Mana Kita Perlu Merujuk?

22 Oktober 2016   00:11 Diperbarui: 22 Oktober 2016   00:23 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Nadirsyah Hosen. Sumber: website Melbourne University

Sekarang kita sampai apa pesan Surat Al-Maidah 51 yang dijadikan Atsar Sahabat itu. Saya menyimpulkan ada dua versi utama. Pertama, versi yang sangat keras yaitu bukan saja haram hukumnya memilih pemimpin Non-Muslim tetapi juga haram hukumnya untuk bekerjasama dengan Non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani. Khalifah Umar menyuruh mengusir tenaga ahli (sekretaris/khatib) Abu Musa yang beragama Nasrani dari Medinah (Mesjid Nabawi).

Kutipan dari versi keras Dr. Hosen ini adalah:

“Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam (saya kira Suriah sekarang ini, red) itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”, kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51”

Sedangkan versi moderatnya adalah sebagai berikut. Pertama, lihat kutipan dari tulisan Dr. Hosen tersebut, sebagai berikut:

“Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”

Kedua, mengangkat dan/atau memilih Muslim sebagai Pempimpin, atau, mitra kerja dan/atau bisnis, tidak secara otomatis haram hukumnya. Itu ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu serta zaman atau era ketika keputusan itu diambil. Untuk itu Dr. Hosen menyatakan:

“Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.”

Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.

Semogah bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun