Mohon tunggu...
Almizan Ulfa
Almizan Ulfa Mohon Tunggu... Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI -

Just do it. kunjungi blog sharing and trusting bogorbersemangat.com, dan, http://sirc.web.id, email: alulfa@gmail.com, matarakyat869@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ini LimaTantangan Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar

17 Oktober 2016   16:48 Diperbarui: 17 Oktober 2016   17:15 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penunjukan Ignatius Jonan dan Dr. Arcandra Tahar, masing-masing sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM menjadi viral sosmed akhir pekan kemarin. Viral ini juga menyebar dengan cepat di kompasiana, dan, semalam ketika browsing indeks berita saya kebetulan melihat tawaran dari redaksi Kompasiana untuk menulis tentang Menteri ESDM yang baru ini. Ini kebetulan sekali karena saya pernah menulis tentang topik Migas ini termasuk harapan pada Menteri Baru ESDM pasca diberhentikannya Dr. Arcandra Tahar dari jabatan Menteri ESDM.

Walaupun demikian, mari sejenak kita lihat dua fakta strategis sektor Migas Indonesia. Pertama, kondisi yang memprihatinkan dari produksi minyak mentah Indonesia yang terus melorot hingga saat ini, dan, kedua, tentang masih banyaknya persepsi keliru tentang peran strategis PT Pertamina.

Untuk melihat peran strategis PT Pertamina di sektor hulu Migas, coba kita lihat grafik diatas yang memperlihatkan distribusi produsen Migas di Indonesia . Terlihat produksi PT Pertamina hanya 18 persen dari produksi total Indonesia. Selebihnya, 82 persen adalah hasil produksi perusahaan asing dan Chevron Pacific Indonesia menguasai 47 persen.

Walaupun demikian, saya kira, Duet Jonan dan Arcandra tidak berniat untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Kontrak-kontrak yang sudah dibuat terdahulu tidak begitu mudah untuk direvisi apalagi dibatalkan begitu saja. Selain itu, tentu saja mereka menyadari bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas membutuhkan dana yang besar dan diperparah lagi dengan tingginya risiko kegagalan menemukan cadangan Migas yang layak dikelola secara ekonomis. Mereka, saya kira, akan lebih fokus untuk mempertimbangkan skim-skim perpajangan kontrak, jika kontrak yang ada sudah berakhir, yang lebih menguntungkan Indonesia. Selain itu itu, mereka juga akan mempertimbangkan skim-skim alternatif untuk kontrak-kontrak kerja sama yang baru.

Menurut analisis banyak pihak, salah satu kelemahan dari kontrak bagi hasil Migas yang ada sekarang adalah tingginya cost recovery, pengganti dari biaya investasi peralatan dan mesin-mesin yang sudah dibeli dan digunakan oleh para kontraktor tersebut, yang perlu dibayar oleh pemerintah ke perusahaan-perusahaan asing tersebut. Dengan nilai cost recovery yang nilainya sekitar Rp170,00 triliun per tahun yang berarti lebih dari separuh penerimaan Sumber Daya Alam (SDA),  Rp 254 triliun untuk APBN tahun 2015, terpaksa dikembalikan lagi ke perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Memang mesin-mesin dan peralatan tersebut menjadi milik Indonesia setelah berakhirnya masa kontrak tersebut. Namun, itu baru terlaksana setelah 20 atau 30 tahun kemudian. Mesin dan peralatan tersebut kemungkinan sudah banyak yang menjadi besi rongsokan dan/atau ketinggalan teknologi ketika diserahkan ke Indonesia.

Selain itu, pemerintah masih harus mengeluarkan biaya dan mengorbankan sumber-sumber lain yang langkah untuk menjual bagian pemerintah dari kontrak kerjasama bagi hasil itu. Nilai untuk fee ke PT Pertamina, atau, ke BP/SKK Migas per tahun saja adalah Rp3,5 triliun.

Tantangan berikutnya dari Duet hebat kita ini adalah terus merosotnya produksi minyak mentah Indonesia seperti diperlihatkan oleh grafik dibawah ini. Produksi itu masih di tingkat 1,6 juta barel per hari di tahun 1980an tetapi kini, ditahun 2016, tinggal 800an ribu barel per hari saja. Sudah tinggal separuhnya.

produksi-minyak-indonesia-58049e3eac92736c262e1f09.jpg
produksi-minyak-indonesia-58049e3eac92736c262e1f09.jpg
Porduksi minyak itu, rasanya, sulit sekali untuk dapat ditingkatkan kembali dalam beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, Indonesia masih harus mengimpor minyak sekitar 500 juta barel per tahun dan ini dilakukan oleh organ PT Pertamina yang bernama ISC (Integrated Supply Chain).

Dalam kaitan ini, mungkin kita masih ingat kasus Petral dengan bisnis impor minyak untuk dijual ke PT Pertamina yang berhasil dibubarkan oleh Sudimran Said dan Dwi Soetjipto sekitar Mei 2015 yang lalu. Anak perusahaan PT Pertamina ini diduga korupsi harga dalam kisaran 1 hingga 3 US$ untuk setiap barrel minyak impor yang dijual ke PT Pertamina. Adanya mark up atau korupsi harga itu jelas merugikan negara dan pembeli minyak di Indonesia. Negara ketika itu harus memberikan subsidi yang lebih besar dan rakyat banyak membayar harga yang lebih tinggi dari seharusnya.

Sekarang bisnis impor minyak itu sudah diambil alih oleh ISC (Integrated Supply Chain) dan apakah entitas yang sudah berbahasa English ini akan bebas dari dugaan korupsi itu? Tidak ada yang dapat menjamin itu. Peluang KKN masih terbuka lebar. Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan oleh Duet idola kita ini.

Menurut beberapa artikel yang dapat saya akses, untuk menanggulangi isu korupsi minyak impor itu sebetulnya tidak begitu sulit. Tidak begitu sulit secara teknis.

Duet kita itu tinggal memerintahkan PT Pertamina untuk membuka akses publik atas volume dan harga minyak impor. Berapa harga dan volume minyak yang dibeli ISC dari pasar internasional dan berapa harga dan volume minyak itu yang dijual ISC ke PT Pertamina, perlu dibuka ke publik. Dengan demikian, harga jual PT Pertamina ke SPBU-SPBU dapat dilacak dengan mudah. Lebih jauh lagi, publik perlu diberi akses secara online atas update harga-harga tersebut.

Selain itu, walaupun sarat dengan kontroversial, Duet kita ini dapat juga dengan mudah memerintahkan BPH Migas untuk membuka akses pasar yang lebih luas kepada perusahaan asing seperti Petronas, Shell, Total, dan lain sebagainya. Adanya persaingan itu akan memaksa Pertamina menetapkan harga yang lebih wajar dan melenyapkan dugaan KKN yang masih berlanjut hingga kini.

Tantangan Duet Jonan dan Arcandra berikutnya dapat kita lihat dalam perspektif jangka panjang. Disini banyak yang memprediksi bahwa jika tidak ada kebijakan yang mumpuni di sektor hulu Migas, maka produksi minyak mentah kita akan tinggal sekitar 500 ribuan barrel per hari di tahun 2030 nanti. Impian Indonesia masuk kelompok 10 negara terkaya di dunia, besar kemungkinannya, tetap akan menjadi mimpi di tahun 2030 itu.

Coba kita lihat pendapat dari Dr. Madjedi Hasan berikut ini.

  • "Good oil and gas management means managing the resources to provide optimum results to the owner of the natural resources, the state, but also providing protection and legal certainty for investors." (The Jakarta Post December 17, 2015)

Artinya, Menteri /Wkl Menteri baru ESDM tersebut dianjurkan untuk membuat skim-skim kontrak kerjasama yang paling menguntungkan Indonesia tetapi para investor itu perlu diberikan perlindungan dan kepastian. Jika mereka merasa tidak terlindungi dan tidak melihat adanya kepastian hukum, mereka akan hengkang dan memilih berinvestasi di negara-negara lain. Potensi cadangan Migas yang melimpah juga terdapat di berbagai belahan dunia yang lain.

Sayangnya, kepastian perlindungan dan hukum di sektor hulu Migas itu menjadi melemah seiring dengan masih berlarut-larutnya penyelesaian revisi UU Migas 2001. Hal ini kemudian lebih diperparah lagi dengan banyaknya pengamat Migas internasional menilai bahwa draf UU MIgas baru belum mencerminkan kebutuhan perlindungan dan kepastian hukum bagi para investor asing.

Selain itu, kasus Blok Masela dianggap oleh investor Inpex (Jepang) dan Shell (British) merupakan cerminan tindakan yang tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Kesepakatan awal untuk melakukan eksploitasi (produksi) di tengah laut dibatalkan oleh Pemerintah dan ditetapkan untuk dilakukan di darat. Bukan berarti kita harus seperti kerbau tercocok hidungnya dalam mentaati perjanjian yang sudah disepakati bersama. Tetapi, jika kita berniat berubah kesepakatan itu, itu sudah dipersiapkan dengan seksama termasuk kompensasi kerugian-kerugian investor atas perubahan-perubahan kesepakatan tersebut. Ini kelihatannya tidak demikian. Kasus Blok Masela ini, rasanya, masih terkatung-katung hingga saat ini dan kapan selesainya belum dapat dipastikan.  (Perlukah Investor Asing Dimanjakan di Sektor Hulu Migas)

Terkait dengan revisi UU Migas 2001, isu sentralnya adalah terletak pada perintah MK 2012 agar entitas yang diberikan otoritas untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan asing adalah BUMN seperti PT Pertamina dan bukan entitas seperti BP Migas dan/atau SKK Migas. Perintah ini menurut putusan tersebut adalah sesuai dengan kehendak Pasal 33 UUD 1945.

Walaupun demikian, dan juga wajar saja jika pengalihan otoritas tersebut kelihatannya tidak begitu disukai oleh Kementerian ESDM. Selain itu, untuk kasus yang serupa Putusan MK2004 masih mempertahankan entitas seperti BP/SKK Migas untuk melakukan deal (menandatangani kontrak) dengan perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Lebih jauh lagi, kalau kita cermati secara lebih holistik, akan dapat kita simpulkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu tidak mengatur apa-apa terutama terkait dengan posisi BUMN dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. UU yang yang mengatur sektor mineral dan batubara (minerba), misalnya, yang juga secara eksplisit merujuk ke Pasal 33 UUD 1945, tidak memberikan hak ekslusif monopoli kepada kepada BUMN. Hal yang serupa dapat kita lihat juga di UU Agraria, UU Daya Air, dan UU Kehutanan dan Perkebunan.

Semogah bermanfaat.

[AU1] Cek nilainya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun