Menurut beberapa artikel yang dapat saya akses, untuk menanggulangi isu korupsi minyak impor itu sebetulnya tidak begitu sulit. Tidak begitu sulit secara teknis.
Duet kita itu tinggal memerintahkan PT Pertamina untuk membuka akses publik atas volume dan harga minyak impor. Berapa harga dan volume minyak yang dibeli ISC dari pasar internasional dan berapa harga dan volume minyak itu yang dijual ISC ke PT Pertamina, perlu dibuka ke publik. Dengan demikian, harga jual PT Pertamina ke SPBU-SPBU dapat dilacak dengan mudah. Lebih jauh lagi, publik perlu diberi akses secara online atas update harga-harga tersebut.
Selain itu, walaupun sarat dengan kontroversial, Duet kita ini dapat juga dengan mudah memerintahkan BPH Migas untuk membuka akses pasar yang lebih luas kepada perusahaan asing seperti Petronas, Shell, Total, dan lain sebagainya. Adanya persaingan itu akan memaksa Pertamina menetapkan harga yang lebih wajar dan melenyapkan dugaan KKN yang masih berlanjut hingga kini.
Tantangan Duet Jonan dan Arcandra berikutnya dapat kita lihat dalam perspektif jangka panjang. Disini banyak yang memprediksi bahwa jika tidak ada kebijakan yang mumpuni di sektor hulu Migas, maka produksi minyak mentah kita akan tinggal sekitar 500 ribuan barrel per hari di tahun 2030 nanti. Impian Indonesia masuk kelompok 10 negara terkaya di dunia, besar kemungkinannya, tetap akan menjadi mimpi di tahun 2030 itu.
Coba kita lihat pendapat dari Dr. Madjedi Hasan berikut ini.
- "Good oil and gas management means managing the resources to provide optimum results to the owner of the natural resources, the state, but also providing protection and legal certainty for investors." (The Jakarta Post December 17, 2015)
Artinya, Menteri /Wkl Menteri baru ESDM tersebut dianjurkan untuk membuat skim-skim kontrak kerjasama yang paling menguntungkan Indonesia tetapi para investor itu perlu diberikan perlindungan dan kepastian. Jika mereka merasa tidak terlindungi dan tidak melihat adanya kepastian hukum, mereka akan hengkang dan memilih berinvestasi di negara-negara lain. Potensi cadangan Migas yang melimpah juga terdapat di berbagai belahan dunia yang lain.
Sayangnya, kepastian perlindungan dan hukum di sektor hulu Migas itu menjadi melemah seiring dengan masih berlarut-larutnya penyelesaian revisi UU Migas 2001. Hal ini kemudian lebih diperparah lagi dengan banyaknya pengamat Migas internasional menilai bahwa draf UU MIgas baru belum mencerminkan kebutuhan perlindungan dan kepastian hukum bagi para investor asing.
Selain itu, kasus Blok Masela dianggap oleh investor Inpex (Jepang) dan Shell (British) merupakan cerminan tindakan yang tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Kesepakatan awal untuk melakukan eksploitasi (produksi) di tengah laut dibatalkan oleh Pemerintah dan ditetapkan untuk dilakukan di darat. Bukan berarti kita harus seperti kerbau tercocok hidungnya dalam mentaati perjanjian yang sudah disepakati bersama. Tetapi, jika kita berniat berubah kesepakatan itu, itu sudah dipersiapkan dengan seksama termasuk kompensasi kerugian-kerugian investor atas perubahan-perubahan kesepakatan tersebut. Ini kelihatannya tidak demikian. Kasus Blok Masela ini, rasanya, masih terkatung-katung hingga saat ini dan kapan selesainya belum dapat dipastikan. Â (Perlukah Investor Asing Dimanjakan di Sektor Hulu Migas)
Terkait dengan revisi UU Migas 2001, isu sentralnya adalah terletak pada perintah MK 2012 agar entitas yang diberikan otoritas untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan asing adalah BUMN seperti PT Pertamina dan bukan entitas seperti BP Migas dan/atau SKK Migas. Perintah ini menurut putusan tersebut adalah sesuai dengan kehendak Pasal 33 UUD 1945.
Walaupun demikian, dan juga wajar saja jika pengalihan otoritas tersebut kelihatannya tidak begitu disukai oleh Kementerian ESDM. Selain itu, untuk kasus yang serupa Putusan MK2004 masih mempertahankan entitas seperti BP/SKK Migas untuk melakukan deal (menandatangani kontrak) dengan perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Lebih jauh lagi, kalau kita cermati secara lebih holistik, akan dapat kita simpulkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu tidak mengatur apa-apa terutama terkait dengan posisi BUMN dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. UU yang yang mengatur sektor mineral dan batubara (minerba), misalnya, yang juga secara eksplisit merujuk ke Pasal 33 UUD 1945, tidak memberikan hak ekslusif monopoli kepada kepada BUMN. Hal yang serupa dapat kita lihat juga di UU Agraria, UU Daya Air, dan UU Kehutanan dan Perkebunan.