Mungkin kita masih ingat kasus Petral dengan bisnis impor minyak untuk dijual ke PT Pertamina yang berhasil dibubarkan oleh Sudimran Said dan Dwi Soetjipto sekitar Mei 2015 yang lalu. Anak perusahaan PT Pertamina ini diduga korupsi harga dalam kisaran kisaran 1 hingga 3 US$ untuk setiap barrel minyak impor yang dijual ke PT Pertamina. Â Â
Adanya mark up atau korupsi harga itu jelas merugikan negara dan pembeli minyak di Indonesia. Negara ketika itu harus memberikan subsidi yang lebih besar dan rakyat banyak membayar harga yang lebih tinggi dari seharusnya. Â Â
Setiap tahun Indonesia mengimpor sekitar 500 juta barrel minyak, yang berarti uang yang berhasil diraup oleh Petral itu sekitar 500 juta hingga 1500 juta US$ per tahun, atau, dengan kurs Rp12.000/USD saja, nilai korupsi itu adalah 6 triliun hingga 18 triliun rupiah per tahun. Dan, itu terjadi selama puluhan tahun dan tidak ada instansi pengawas, baik itu Inspektorat Kementerian Keuangan dan atau Inspektorat ESDM, KPK, bahkan BPK sekalipun yang berhasil membongkarnya. Â Â
Sekarang bisnis impor minyak itu sudah diambil alih oleh ISC (Integrated Supply Chain) dan apakah entitas yang sudah berbahasa English ini akan bebas dari dugaan korupsi itu? Tidak ada yang dapat menjamin itu. Peluang KKN masih terbuka lebar. Â
Apa dong cara mengendalikan KKN impor minyak itu? Â
Sederhana. Pertamina  perlu membuka akses kepada publik atas volume dan harga minyak impor. Publik perlu diberi akses berapa harga dan volume minyak yang dibeli ISC dari pasar internasional dan berapa harga dan volume minyak itu yang dijual ISC ke PT Pertamina. Dengan demikian, harga jual PT Pertamina ke SPBU-SPBU dapat dilacak dengan mudah.Â
Publik perlu diberi akses secara online atas update harga-harga tersebut. Perbandingan dengan harga minyak internasional juga sebaiknya disediakan. Â Â Â
Otoritas pembukaan akses penjualan yang lebih besar  kepada peusahaan minyak asing itu, saya kira, ada di BPH Migas. BPH Migas sendiri dikendalikan oleh Menteri ESDM dan tentu saja oleh RIOne, Presiden Joko Widodo.Â
Semogah ini dapat didengar oleh para pemangku kepentingan yang terkait.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H