Bensin motor atau mobil jelas kebutuhan dasar kita bersama (hajat hidup orang banyak) dan penting bagi negara. Bensin tersebut untuk jenis premium (Ron 88) sudah tidak bersubsidi walaupun harganya diatur oleh pemerintah (lucu ngak?). Sedangkan untuk jenis bensin yang lain seperti Pertalite, Pertamax, dan lain-lain sudah tidak bersubsidi lagi, dan dengan demikian harganya tidak dikendalikan lagi oleh pemerintah.Â
Bensin jenis premium (Ron 88), yang tidak digunakan lagi di mancanegara, tadinya diimpor oleh Petral (anak perusahaan PT Pertamina) dan kemudian dijual kepada kita semua oleh PT Pertamina lewat SPBU-SPBU Pertamina. Petral diduga melakukan mark up harga (korupsi) dalam kisaran 1 hingga 3 dolar AS untuk setiap barrel premium yang dijualnya dan akhirnya Petral dibubarkan oleh Sudirman Said dan Dwi Soetjipto dalam bulan Mei 2015. Â Â
Setelah Petral dibubarkan PT Pertamina menunjuk  ISC (Integrated Supply Chain) untuk menjadi pemasok premium impornya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah korupsi tersebut otomatis hilang?  Dengan kata lain apakah harga yang kita bayar untuk setiap liter premium yang kita beli dari Pertamina sudah wajar?  Â
Banyak yang meragukan hal itu karena hanya SPBU PT Pertamina yang menjual premium sedangkan SPBU asing seperti Shell, Total, dan BP, selain jumlahnya sangat sedikit, mereka itu hanya diizinkan menjual yang sejenis Pertamax dan/atu jenis yang lebih baik lagi. Kita, dengan demikian, tidak memiliki pembanding harga premium Pertamina. Â Â
Selain itu, Faisal Basri, ekonom kondang FE UI, pernah menulis di beberapa media termasuk di Kompasiana bahwa harga premium yang dijual Pertamina terlalu mahal. Beberapa artikel serupa juga pernah ditayangkan oleh Kompasiana beberapa waktu lalu termasuk artikel Almizan Ulfa. Â
Faktor lain yang menyebabkan dugaan bahwa korupsi impor premium itu masih berlanjut adalah karena publik tidak dapat mengakses harga pembelian premium Pertamina dari ISC itu. Di negara-negara OECD seperti di Amerika Serikat, publik bisa mengakses informasi serupa secara online. Â Â
Solusinya sebetulnya sederhana. Berikan akses publik secara online atas harga impor premium yang dibayar oleh Pertamina ke pemasoknya yang sekarang dilakukan oleh ISC tersebut. Ini perlu diperkuat dengan menghilangkan berbagai hambatan operasional SPBU asing termasuk izin lokasi dan jenis bensin yang dijual. Buka kesempatan agar mereka itu dapat juga menjual bensin sejenis premium dan pertalite, misalnya. Â Â
Patut diduga arah ke arah itu tidak akan begitu mulus sebab para pemburu rente akan mengangkat isu hajat hidup orang banyak dan penting bagi negara yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang sering ditafsirkan bahwa sumber-sumber SDA termasuk bensin premium harus dikelola oleh BUMN. Masalahnya sekarang sebetulnya adalah bukan lagi jargon heroik yang dikangkangi pemburu rente tetapi hanya pilihan BUMN korupsi atau SPBU asing? Â
BUMN korupsi, kita bayar bensin lebih mahal dan mafia Migas kaya raya, SPBU asing, bensin lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil termasuk pengendara sepeda motor. Â
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H