UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Indonesia baru saja disyahkan oleh DPR RI. Namun demikian, pros kons UUPP Indonesia itu terus berlanjut, dan, sebagian sudah menjurus ke dramatisasi dan politisasi. Pada kesempatan ini, penulis mencoba menuangkan pemikiran tax amnesty (TA) dari sisi orang awam saja. Sederhana dan langsung ke sumber penyakitnya. Â
Sebetulnya, fokus perhatian TA adalah pada warga negara Indonesia yang tidak melaporkan harta mereka yang di simpan di luar negeri. Dengan tidak melapor maka otomatis mereka tidak membayar pajak atas harta mereka di luar negeri itu.
Tindakan tidak melapor dan tidak bayar pajak itu bukan satu dua tahun saja tetapi sudah dilakukan bertahun-tahun. Juga, bukan satu dua orang saja tetapi dalam itungan ratusan dan bahkan bisa ribuan orang.
Sudah terjadi penggelapan pajak Indonesia dalam skala yang sangat besar. Sebagian mengatakan dalam itungan ratusan…dan sebagian lagi mengatakan dalam itungan ribuan…triliun rupiah. Yang manapun, tetap saja itu angka yang sangat fantastis sebab APBN_P 2016 saja hanya 2000an triliun rupiah saja.
Sekarang ada pertanyaan dari temen jaga di pos hansip. Koq perlu diampunin? Kenapa tidak ditangkap saja kalo emang dah bener tau itu orangnye?
Mungkin tidak semudah itu bro. Mereka akan mengadakan perlawanan dan menggunakan lawyer caliber international. Mereka juga diantisipasi akan memanfaatkan berbagai jaringan termasuk jalur partai untuk mengadakan perlawanan. Dan, perlu dipahami bahwa dalam banyak kasus, pemerintah lebih banyak kalahnya di pengadilan pajak yang dikelola oleh pemerintah sendiri.
Untuk berhasil meringkus dan memaksa mereka itu membayar pajak, dibutuhkan waktu dan dana yang besar serta waktu yang cukup panjang sekali. Selain itu, jumlah orang yang bisa ditangkap itu hanya sebagian kecil saja.
Sebaliknya, jika dosa-dosa masa lalu mereka diampuni diharapkan mereka tidak akan mengadakan perlawanan dan secara sukarela berbondong-bondong melaporkan harta kekakayan luar negeri mereka ke kantor DJP Kementerian Keuangan. Hal yang seindah itu diperkirakan akan menjadi kenyataan karena para pengemplang pajak itu selain akan takut pada ancaman-ancaman hukum yang tertuang dalam UU Perpajakan dan/atau UUTA itu, mereka juga tidak ada pilihan lain selain bertobat seiring dengan berlakunya Era Transparansi Internasional tahun 2018. Â
Does it too good to be true? Menjawabnya mungkin lebih gampang begini. Berapa banyak negara yang berhasil dan berapa banyak yang gagal dengan TA ini, kenapa, dan bagaimana dengan Indonesia sendiri?
TA yang dilakukan Indonesia sekarang adalah TA yang keenam, jika tidak keliru. Keseluruhan yang kelima terdahulu, termasuk Sunset Policy tahun 2008, dapat dikatakan kurang berhasil, jika tidak ingin mengatakan sebagai gagal. Yang sekarang bagaimana? Sebentar dulu dan coba kta lihat negara yang berhasil dulu.
Australia adalah salah satu negara yang sukses melaksanakan program TA dan ini didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, kantor pajak Australia (Australian Tax Office – ATO) dilengkapi dengan sistem akuntasi dan TI yang sangat canggih. Kedua, para pelaku pengemplang pajak di sana sebagian besar, kalau tidak hampir seluruhnya adalah para pengusaha. Pejabat pemerintah dan/atau politisi serta criminal diperkirakan sangat kecil, jika ada. Mereka ini termasuk diantara yang memang tidak diharapakan untuk bertobat.
Lebih mencemaskan lagi jika kita lihat luar biasa banyaknya pejabat publik yang terjerat korupsi dan/atau ditangkap KPK. Mulai dari DPRD kabupaten/kota, berlanjut ke provinsi, hingga ke DPR RI. Begitu juga halnya dengan kepala daerah, banyak sekali yang kena OTT KPK dan/atau terjerat kasus korupsi. Ini terjadinya sangat masif mulai dari Bupati/Walikota, Gubernur, hingga ke Menteri Kabinet.
Kesimpulan TA2016? Berhasil atau Gagal? Â TA2016 akan gagal sebelum isu-isu pada tiga alinea terakhir diatas dibereskan dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H