Terserah saja orang-orang menilai pemikiran ini biasa-biasa saja, tapi menurut saya ide ini gila.
Begini :
"Mhh..!!, Basi...!", begitulah kadang-kadang (mungkin juga sering) rekan sejawat nyeletuk jika seseorang datang tidak tepat waktu sesuai janji atau telat masuk kantor, dan kemudian mengajukan macet sebagai alasan, khususnya di kota Jakarta. Maksudnya alasan macet tak layak diajukan lagi karena jalanan macet di Jakarta sudah bukan barang aneh. Bahkan bak anomali justeru jalanan lancar dianggap aneh. "Tumben.., kok lancar ?!?", demikian kadang-kadang warga Jakarta mengomentari jalanan yang biasanya macet bukan kepalang, suatu ketika lancar entah mengapa. Orang-orang justru bertanya-tanya (merasa aneh) ketika jalanan lancar, "ada apa ya ?, kenapa sih ? Tumben, kok lancar ?!?!", dst dst.
Ilustrasi tsb ingin menggambarkan betapa sudah menahunnya masaalah macet di Jakarta. Bahkan menjadi alasan keterlambatan pun sudah tidak dapat diterima, sekalipun kenyataan macet itu sungguh-sungguh dialami si pemberi alasan.
Suatu ketika, terjadilah obrolan ringan beberapa orang warga sebuah komplek perumahan di pinggir Jakarta, sekitar 7 sampai 8 orang terlibat dalam kumpul-kumpul tsb. Berbagai isu-isu "berat" yang sedang hangat, dibahas (tepatnya diobrolin) dengan "ringan" lengkap dengan banyolan-banyolan khas warga kalau ngumpul sambil ngopi sebagai salah satu bentuk kerukunan dan kerapatan warga. Masalah macet pun tak luput dari obrolan.
"Mestinya Jakarta sudah memberlakukan batasan usia kendaraan yang diperbolehkan melintas pada jalan-jalan atau wilayah tertentu", salah seorang menyampaikan pendapatnya.
"Habis, kendaraan baru keluar terus sih. Lihat saja mobil-mobil, motor apalagi... ", yang lain menimpali.
"Saya setuju dengan ide penggunaan nomor genap-ganjil... ", ujar yang lainnya meneruskan pendapatnya dengan argumen-argumen masing-masing.
Namun satu yang menarik dari sekian banyak yang dibicarakan adalah apa yang diutarakan oleh bapak yang duduk di lantai, sebut saja Pak Irfan (panggilan sehari-harinya), yang dengan logat khasnya mengatakan,
"Kalau menurut saya, bagaimana kalau kantor Departemen (sekarang Kementrian) itu di sebar ke beberapa daerah. Misalnya Departemen A di Semarang, Departemen B di Medan, Departemen C di Samarinda . . .".
"Haha...ha, gila lu !!", yang lain lansung memotong pembicaraan Irfan.