Mohon tunggu...
puspalmira
puspalmira Mohon Tunggu... Freelancer - A wild mathematician

Invisible and invincible IG: almirassanti

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pendakian Gunung Butak Part 1: Bonek Hikers

23 September 2020   13:16 Diperbarui: 23 September 2020   13:23 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Welcome Back! Lama banget ya nggak pernah nulis lagi, huhu. Sekarang pun masih susah buat mulai nulis lagi. Untuk pemanasan, aku bagikan saja cerita lamaku. Ini bukan penduan mendaki, bukan rekomendasi, bukan juga resensi. Aku hanya ingin menceritakan kisah pribadi saat pertama kali mendaki. 

______

So, here am I. Aku bukan pendaki. Aku juga bukan anak petualang yang senang keluyuran. Bahkan, aku lebih betah tinggal di rumah seharian tanpa melakukan apapun ketimbang jalan-jalan tak tentu arah. BUT, aku sangat suka alam. Ijo-ijonya yang mendamaikan itu tak pernah terkalahkan oleh amusement park semahal apapun, dan di sini aku akan bercerita tentang pendakian pertamaku. (Bukan pertama juga sih. Sebelumnya pernah naik gunung, tapi cuma sekelas Panderman yang setengah hari beres, Ijen yang lebih cocok dibilang jalan daripada ndaki, juga Pecel Pithik yang--yah--aku ke sana bersama dua balita yang berlari-lari naik turun. Jadi boleh dikata inilah pendakian yang baru benar-benar mendaki)

Sudah kubilang aku bukan pendaki. Namun bukan berarti aku tak ingin. Menjajaki gunung bukan hobiku, tapi bisa dibilang itu keinginanku yang paling dalam (salah satunya). Tak perlu mencapai banyak puncak, sekali saja mungkin cukup untuk menunaikan keinginan dan rasa penasaran. Dan akhirnya, aku tak melewatkan satu kesempatan ini.

May 28, 2016. Tepat sesaat sebelum Maghrib, sebuah rencana telah diputuskan. Lima dari tujuh manusia berkumpul menyusun persiapan dan membagi tugas. Dua sisanya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing yang cukup menguras tenaga mengingat seharusnya malam ini kami beristirahat. Sebuah keputusan yang cukup (sangat) nekat oleh tujuh amatir, demi niat sebuah perjuangan tak terbayangkan. Nekaat? Yap! Totally bondo nekat. Di antara kami bertujuh hanya ada dua perjaka. Lima lainnya adalah gadis-gadis cilik (baru umur 20-an) yang tak punya pengalaman. Tak ada pendaki di antara kami, hanya dua personil yang kebetulan pernah mendaki (salah satunya aku yang juga nggak bisa dibilang mendaki). Modal yang kami punya hanyalah keinginan berjuang. Kami tahu resikonya, tapi tidak benar-benar tahu. Tak ada yang mampu membayangkan akan seperti apa perjalanan ini nanti.

May 28, 2016. Selepas Maghrib kami berpencar. Membeli ransum, menyewa peralatan, serta mencari pinjaman carrier (tas gunung) untuk menghemt anggaran. Semua dilakukan dalam semalam. Aku dan seorang kawan laki-lakiku kebagian tugas mengumpulkan (membeli) sumber energi (makanan) dan obat-obatan. Well, aku yang cukup menjaga diri dan jarak dari lawan jenis (abaikan, :D, ini cerita lain), cukup grogi karena harus masuk swalayan berdua, meskipun terpisah dengan kendaraan masing-masing. Alhasil, terjadilah beberapa kebodohan yang kulakukan seperti menjatuhkan barang-barang dan menghilangkan kartu parkir. (yang ini paraaaaaaah. Huhuuu. Biasanya barang-barang penting macam itu tak pernah jauh dari genggaman. Yaaaaaah harus sabar dan tenang walau terpaksa mencari kartu itu sampai dapat atau sepeda motor ditahan di tempat. Adaaaaa aja)

May 28, 2016. Jam malam. Aku rasa sudah cukup mempersiapkan barang-barang. Tepat keesokan pagi kami akan berangkat. Kupikir malam cukup larut hingga aku lebih memilih tidur daripada browsing mempelajari medan, ya walaupun sempat nonton film sebentar. Kutaksir kawan-kawanku masih sibuk dengan persiapan masing-masing.

______

May 29, 2016. Kami siap. Sedikit terlambat. Kami siap dengan persiapan yang tak siap memadai. Latihan fisik? Istirahat cukup? Tidak ada. Baru semalam kami memutuskan dan melakukan semuanya. Sesiangnya pun kami masih disibukkan dengan kuliah atau kegiatan lain yang cukup padat. Namun kami siap karena tak ingin persiapan ini hanya jadi wacana abadi. (bagi yang ikut mengalami mungkin istilah 'wacana' ini bisa jadi kata yang ngejleb. Hehe peace bro!)

Tak ada halangan berarti dari keberangkatan kami selain sedikit keterlambatan dan sepeda motor yang hampir jumpalitan. (Lhaah kok bisa?? Entahlah. Mungkin salah strategi. Salah tancap. Untung nggak ada kendaraan yang salipan. Bayangin aja, jalan nanjak plus belokan hampir 360 derajat. Meskipun bukan sekali ini motorku naik-naik ke puncak gunung dengan medan ekstrem, toh apapun bisa terjadi. Termasuk kejadian 'salah kedaden' yang bikin roda depan ngangkat dan kami pun limbung. Untung gak njempalik. Untung gak njlungup nang jurang. Yo wes ngene iki jenenge wong jowo, opo-opo sik ono untunge. Cukuplah dengan ditertawakan pesepeda pancal yang dengan tegap melaju di sebelah kami. Hadeeeeeh)

Nah ini nih. Belum apa-apa udah teler (Dokpri)
Nah ini nih. Belum apa-apa udah teler (Dokpri)

Sip. Masalah terlewati. Lalu sampailah kami di pos utama sebelum pertama: tempat parkir. Ditanya bagaimana perasaanku, aku tak berani berprasangka sebelum sampai puncak lalu kembali pulang. Aku tak berani dibuai harapan setelah sebelumnya penuh dengan wacana. (wacana lagi! -_-) Tak mau menghabiskan banyak waktu, kami pun berlalu menuju loket. Cukup melelahkan. (Belum-belum sudah capek! Yah.... lemah!! Eh tapi beneran capek lho. Itung-itung pemanasan sih)

Siap Buk? Cayooo. (Nih si mungil tapi paling setrong sibuk di loket, yang lain sibuk gelemprakan) (Dokpri)
Siap Buk? Cayooo. (Nih si mungil tapi paling setrong sibuk di loket, yang lain sibuk gelemprakan) (Dokpri)
Setelah mendaftar, berdoa, dan sedikit berfoto ria, kami bergegas memulai perjalanan. Perjuangan yang sebenarnya belum dimulai (meskipun sudah capek-capek basah. Basah keringat maksudnya). Di awal perjalanan, kami bertemu bapak-bapak penduduk asli yang memperingatkan kami.

"Tujuh orang. Ganjil. Jangan naik ke Butak. Nanti ilang lho mbak."

Huaduh... aku bukan orang yang percaya hal-hal semacam ini. Percaya saja sama Yang Di Atas, melangkah dengan Shalawat, menjejak dengan Basmalah, melaju dengan rendah hati, Insya Allah aman. Seperti itu saja keyakinanku. Tapi tetap saja, kami harus menghormati bapak ini, penduduk sini, juga segala mitos yang ada.

"Temenan lho mbak, baru kemaren tiga orang (atau lima, aku lupa) ilang gak mbalik. Kalo tetep pengen naik, ke Panderman aja!". Sedikit informasi, Butak dan Panderman berada dalam satu jajaran pegunungan yang dikenal dengan nama Putri Tidur. Salah satu jalur pendakian menuju puncak Butak ialah jalur Panderman, yaitu yang sedang kami lalui ini.

Kami berunding sejenak dan tak ada yang percaya pada mitos. (meskipun kami juga tau mitos seperti itu--bahkan yang lebih ekstrem--banyak terjadi di gunung). Kami tetap pada niat awal, menuju puncak Butak. Melihat gelagat kami, bapak tadi kembali menasihati.

"Terserah lek sampean-sampean tetep mau naik. Saya cuma ngingatkan. Biar aman cari saja rombongan lain yang jumlahnya ganjil. Diajak bareng biar jadi genap."

"Nggih Pak maturnuwun. Monggo..." serentak kami menjawab dan langsung melaju. Tanpa prasangka apapun kami melanjutkan perjalanan.

"Ayo mas, mbak, barengan."

Ternyata tiga orang yang lebih dulu berbincang dengan si bapak sebelum kami sampai tadi juga hendak mendaki. Kupikir mereka sudah akan pulang. Melihat itu, kami lebih lega. Namun ternyata, tujuan mereka adalah puncak Panderman, bukan puncak Butak. Mungkin setengah jam (atau lebih) kami berjalan di jalur yang sama. Sampai di persimpangan, kami kembali harus memutuskan, mau lanjut bertujuh ke Butak, atau bersepuluh ke Panderman......

Sebelum (Dokpri)
Sebelum (Dokpri)
______

"Ya udah, yuk lanjut sendiri aja."

Keputusan kami tidak berubah. Rencana awal harus sukses dieksekusi. Dengan mengucap Bismillah kami berpisah dengan rombongan tadi dan langsung melanjutkan perjalanan.

"Ada petunjuk jalannya kok." ujar pemimpin barisan. Syukurlah, sepanjang jalur banyak tanda-tanda berupa pita yang diikat di pepohonan atau ranting-ranting.

Beautiful scenery, isn't it? (Dokpri)
Beautiful scenery, isn't it? (Dokpri)
Selama kurang-lebih 5 jam pendakian, kami sampai di ruang yang agak lapang. Ada satu tenda berdiri di sana. Ada juga beberapa rombongan lain yang singgah. Di tempat itu pula kami menggelar tikar, mencari sisa-sisa air hujan di sela dedaunan untuk berwudhu, lalu shalat dan makan siang. Sampai di sini, belum ada track yang terlalu istimewa. Jalan bebatuan, reruntuhan pohon tumbang, lorong di antara hutan-hutan, lalu guyuran hujan tepat di jalur yang paling curam. Biasa bukan?

Ada satu kesulitan yang teman kami alami. Saat hujan deras di tanjakan super curam itu, satu kawan kami harus mendaki dengan ransel di punggung plus tenda yang dicangklong di depan tubuhnya, ditambah lagi dengan jas hujan model ponco atau kelelawar yang tentu amat menyulitkan. Dengan keadaan seperti itu, dia tidak bisa merangkak. Jas hujan yang nglengsreh pun sangat berpotensi untuk nyrimpet. Aku cukup merasa bersalah dan takut karena meminjamkan jas hujan itu, tapi kondisi ini pun tidak memungkinkan kami untuk bertukar jas. Apa daya pula, tak ada yang sanggup menggantikan beban akhwat tangguh yang satu ini. Beruntung, pendaki lain yang sedang turun memberi jalan dan membantu kami menanjak.

Tiga wanita pejuang (Dokpri)
Tiga wanita pejuang (Dokpri)
Masih biasa. Kami masih menikmati perjalanan ini tanpa beban. Kami masih bisa makan siang dengan riang. (Jadi ceritanya kami sama-sama bawa nasi bungkus buat makan siang pertama. Eh ternyata yang cowok-cowok malah sempat masak bareng. Malah, makanan mereka disatuin di satu kotak makan, terus suap-suapan deh. Hmmmmm.... so suwitnyaaaa.....)

Lalu tiba-tiba...... ada yang menyapa....

"Anak mat (kuliah jurusan matematika) ya mbak?"

"Lho, kok tau mas?" jawab salah seorang dari kami.

"Ya iyalah, plis deh. Jaket mu itu lhoooo bawa identitas banget!"  ujar salah seorang dari kami yang lain.

"Oh iyaaa. Hahaha."

Jadi, empat dari kami tengah mengenakan jaket almamater matematika Universitas Brawijaya. Lambang dan tulisannya terpampang jelas untuk dikenali. (Sebenarnya meski tulisannya ketutupan pun, kalo diliat sama anak sekitar mat UB, pasti udah ketauan banget deh kalo kita anak mat. Haha)

Lalu mulailah bullyan-bullyan kecil di antara kami.

"Eh dasar lu. Ngapain juga ke gunung masih bawa identitas. Keliatan banget tau!"

"Iya nih. Segitu bangganya ya sama almamater.. Atau gak punya jaket lain?"

"Nah kamu juga, ngapain nyama-nyamain gitu?!! Cie.... kita couple-an nih..."

"Ih nggak ada niat ya. Ini mah sekalian kotor aja, mumpung ni jaket yang udah di luar lemari."

"Iya eh sama. Sekalian kotor sekalian dicuci. Apalagi ini yang kedap air juga."

Hahahaha. Dhuaaar!

"Saya anak fisika mbak." mas-mas tadi menimpali.

"Oooooooh, pantesaaaaaan." kami jadi bersahut-sahutan. Dhuar lagi.

"Angkatan berapa mas? Serombongan fisika semua? Berapa orang?......." bla...bla...bla... dst dst. Basa-basi berlanjut sampai rombongan mas itu berangkat duluan.

Nyamm...nyamm.... (Nah, yang hitam-kuning itu jaket jurusan mat. Dan yang merah marun--termasuk yang cuma keliatan tangannya--itu jaket prodi mat '13. Salam kenal...) (Dokpri)
Nyamm...nyamm.... (Nah, yang hitam-kuning itu jaket jurusan mat. Dan yang merah marun--termasuk yang cuma keliatan tangannya--itu jaket prodi mat '13. Salam kenal...) (Dokpri)
Tap tap tap. Kami sungguh tak banyak bicara saat berjalan. Tidak juga heboh oleh pemandangan. Semua itu karena para amatir ini membutuhkan tenaga dan konsentrasi berlebih dibanding pendaki-pendaki pada umumnya. Pembicaraan kami selalu sebatas "Awas kayu", "Awas batu", "Mepet kiri yaa", atau "Jam berapa Di? (karena yang mengenakan jam tangan adalah yang dipanggil 'Di' ini)".

Di suatu titik koordinat, kami bertemu empat orang fisikawan tadi. Mereka sedang santai menyantap bekal makan siang.

"Lho... masnya lagi. Duluan ya mas...." sapa kami.

Padahal, tak lama lagi mereka akan menyalip rombongan kami.

Ayo jalan, masih jauh! (Dokpri)
Ayo jalan, masih jauh! (Dokpri)
Terus ini si akhwat tangguh sama ikhwan tegar (Dokpri)
Terus ini si akhwat tangguh sama ikhwan tegar (Dokpri)
Sraaaap. (Kalo di adegan film ini scenenya matahari turun di fast-forward, burung-burung berkicauan pulang ke rumah, aliran air muara mulai tenang, terus gelap).

"Udah maghrib ni ya. Isya nyampe nggak ya?"

Kata orang, pendakian normal biasa menempuh waktu tujuh sampai delapan jam. Perkiraanku, kami bisa sampai di padang savana--tempat nge-camp--dalam waktu sepuluh jam. Sehingga jika kami berangkat mendaki pukul 9 pagi, kami akan sampai pukul 7 malam atau setidaknya pukul 8. Gelap kian pekat saat langkah semakin terseok-seok. Jauh dari pukul 7, kami mencari penghiburan masing-masing untuk menenangkan diri. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain pohon yang menjulang-julang. Aaah... jangankan puncak atau padang savana. Tanah lapang barang sejengkal pun rasanya bahagia. Aku rasa kami telah sampai di pos yang paling membahana. Aku menyebutnya Pos Frustasi.
_____

(Sudah kubilang, ini hanya cerita pribadi. isinya bukan informasi berarti, melainkan hanya pengalaman hebat yang ingin dibagi. Mau gimana lagi, terlalu excited setiap kali menceritakan pendakian bondo nekat ini.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun