"Silakan, silakan. Mau numpang shalat, numpang mandi, numpang istirahat, langsung naik aja. Mau jalan-jalan tasnya ditinggal sini saja."Â begitulah tawaran manis si Bapak seakan mengerti skenario dalam pikiran saya. Selama perjalanan, saya memang berniat menumpang shalat.
Kalaupun tidak boleh menitip tas, saya bersedia membayar untuk biaya penitipan. Elahdalah ternyata si Bapak sudah menawarkan duluan. Makasih buanyakk lho paaak. Semaput juga saya kalo harus keliling kota gendong carrier 60 liter!!
Kali ini saya ditemani oleh seorang adik laki-laki.) Meski kokinya bukan orang Indonesia, rasa gado-gadonya masih oriental. Hanya saja, beberapa sayuran dibiarkan mentah. Gigi saya yang ompong ngalah-ngalahi gigi mbah-mbah sangat kewalahan menggigit kacang panjang yang masih keras.
Untuk ayam gorengnya sendiri, satu porsi berisi 5 potong ayam. Atas bakat kemampuan mengirit yang saya punya, saya hasut adik saya untuk menyisakan 3 potong ayamnya untuk bekal makan malam.
Satu lagi kebaikan bapak pemilik warung, kami diperbolehkan meyimpan sisa ayam kami di dapurnya. Bahkan, beliau sukarela menghangatkannya kembali sebelum saya bawa untuk makan malam.
Patut dicatat, makanan di Kamboja tergolong mahal jika dibandingkan dengan Indonesia. Di kaki lima pinggir jalan sekalipun, harga seporsi makan berat minimal sebesar USD 2.
Enaknya, harga makanan berbahan daging tidak terpaut jauh dengan makanan biasa. Sekali waktu saya mencoba membeli sup, baik yang penuh berisi daging maupun yang hanya berisi sayuran harganya sama-sama USD 2. Terberkatilah kalian-kalian para karnivora.
Terletak bersebelahan dengan Warung Bali, dua tempat inilah yang saya rencakan untuk dikunjungi. Sebenarnya ada satu lagi yang lebih menarik perhatian saya, yakni Genocide Museum, namun letaknya agak jauh sehingga saya urungkan.