Mereka hanya memiliki taksi dan "tuk-tuk". Tuk-tuk sendiri ada dua macam. Yang pertama tuk-tuk tradisional, bentuknya mirip delman tetapi ditarik oleh motor.Â
Tuk-tuk ini mampu memuat 6 orang dengan tempat duduk berhadap-hadapan depan dan belakang. Yang kedua, bentuknya lebih mirip seperti bajaj di Jakarta dan hanya memuat 2 orang. Tuk-tuk jenis inilah yang tergabung sebagai mitra Grab, atau khusus di Kamboja mereka memiliki aplikasi sendiri yang dinamai PassApp.
Bagaimana dengan harga? Tarif minimal yang dipatok adalah sebesar USD 1, sedekat apapun jarak tempuhnya. Untuk perbandingan mana yang murah antara online dan offline, ya tergantung kemampuan tawar menawar kita.
MAIN COURSE
Warung Bali...
Saya mengenal Warung Bali dari para pelancong terdahulu. Hampir semua travel blogger yang berkunjung ke Phnom Penh singgah dan mengulas warung ini.
Dengan sarana Grab tuk-tuk yang saya pesan secara online, warung masakan Indonesia ini menjadi tujuan pertama saya. Sekitar jam 1 siang saya sampai di warung kecil di sebelah National Museum of Cambodia. Tidak mewah, namun ramah, lengkap dan bersahabat. Itulah kesan yang saya dapat pertama kali. Menu makanan di sini bukanlah masakan Bali.
Bukan pula dimiliki oleh orang Bali. Pemiliknya adalah orang Jawa Tengah asli, dua orang bapak asal Indonesia beserta rekan dan karyawan asli penduduk lokal.
Menunya beragam, campuran dari masakan Indonesia dan Kamboja. Sengaja dinamai Warung Bali karena hal yang paling mencolok dan terkenal dari Indonesia bagi mancanegara adalah Bali.
"Oalaah, ditekani wong Jowo", begitu sambutan yang saya dapat pertama kali setelah mengetahui bahwa saya berangkat dari Surabaya.