Keluar dari mulut Gua Belanda, saya lanjut berjalan menanjak. Setelah bermenit-menit yang cukup membuat ngos-ngosan, saya dan kawan saja berhenti sejenak untuk memulihkan nafas dan menyantap kudapan yang kami bawa. Kami menumpang duduk di sebuah warung yang berdiri di pojok persimpangan jalan.
"Kalo yang kiri ke penangkaran rusa, yang kanan ke curug (air terjun)"Â jawab ibu pemilik warung ketika ditanya oleh pengunjung yang lewat. Saya tidak tahu mana jalur yang benar karena tidak ada petunjuk arah lagi. Sebelah kanan adalah jalur utama sedangkan sebelah kiri adalah jalan yang lebih kecil dan menyeberangi sungai.
"Ya udah, kita ngintip ke tengah jembatan dulu aja yuk. Habis itu balik lagi, lanjut ke atas."Â ajak saya. Namun berada di zaman milenial seperti yang kita hadapi sekarang, jembatan itu dipenuhi pengunjung yang antre berfoto ria.
"Duh, males nungguin orang foto. Langsung naik aja yuk." alhasil kami tidak mengintip pemandangan apa yang bisa didapat dari jembatan itu. Palingan juga sungai ama pohon-pohon, pikir saya.
Trek 3: Penangkaran Rusa
Hanya satu papan kecil yang kami temui, menunjukkan arah ke penangkaran rusa. Kami belok kiri mengikuti petunjuk tadi sembari bertanya-tanya, wah berarti curug Koleang sudah kelewatan ya. Ya, sepertinya memang begitu. Ternyata, rute menuju penangkaran rusa ini memutar kembali ke arah tempat kami berangkat. Sudah kepalang tanggung, kami ikuti saja rute itu meskipun nanti harus berbalik arah lagi.
Badannya sangat kotor oleh tanah basah. Berulang kali kepalanya bergidik dan menoleh untuk mengusir lalat dan nyamuk yang begitu naksir mendekat pada tubuh kurusnya yang gundul. Beberapa rusa tidak berhenti menggigil dan gemetaran, tidak tahu apa sebabnya. Bahkan, ada pula tubuh-tubuh yang berdarah tergores luka. Saya tidak tahu apa yang membuat rusa-rusa ini berada pada kondisi seperti itu. Semoga mereka mendapatkan perawatan yang baik di penangkaran Tahura ini.Â
Dari penangkaran rusa, kami kembali ke persimpangan jalan tempat kami menemukan petunjuk arah menuju penangkaran, Kami kembali melewati jalur utama yang menanjak ke atas. Hanya berjarak 200 meter, kami menemukan tangga turun yang mengarah pada Batu Batik. Mengintip ketinggiannya yang lumayan tinggi dan curam, kami memutuskan untuk melewatkan spot yang satu ini, Turunnya sih enak, gak kuat bayangin naiknya nanti. Untuk menghibur diri, saya berusaha mengira-ngira seperti apa bentuknya dan berhasil membayangkan sesuatu. Mungkin di sana ada batu gede. Terus jamur dan kerak-kerak di permukaan batunya membentuk motif batik.
Selain melewatkan Batu Batik, kami juga melewatkan Curug Lalay. Kami menduga bahwa curug itu berada di bawah tak jauh dari Batu Batik.
Trek 4: Curug Omas / Curug Maribaya
Setelah melewatkan Batu Batik dan Curug Lalay, kami berjalan terus ke atas dengan tujuan akhir Curug Omas atau sering juga dikenal dengan sebutan Curug Maribaya. Â Jarak yang harus ditempuh adalah 1,2 kilometer. Sampai di suatu titik, kami bertemu rombongan kecil (sekitar 4 orang) ibu-ibu beserta anak TK mereka. Rombongan itu memotong jalan ke arah kanan melewati jalan setapak di antara hutan-hutan. Jalan setapak itu sangat menanjak. Menurut keterangan ibu-ibu tadi, jalan setapak ini mengarah pada Tebing Keraton.
"Curug sama tebing bagusan mana Bu?" tanya Bening.
"Bagus tebing lah."Â jawab sang ibu percaya diri. Atas dasar jawaban itulah kami memilih mengikuti sang ibu ke Tebing Keraton, sementara pengunjung lain yang sama bingungnya memilih lanjut di jalan yang benar. Pada akhirnya, kami gagal melihat Curug Maribaya karena mengambil jalur yang berbeda.
Trek 5: Tebing Keraton
Setelah cukup lelah mendaki, saya sedikit kehilangan keyakinan.
"Ini masih jauh Bu ke tebingnya?"Â tanya kami.
"Wah jauh neng, masih sekiloan lagi." jawabnya. Alamaaaaak. Yasudahlah, saya anggap ini gantinya rencana mendaki yang sudah batal. FYI, awalnya tujuan saya liburan ke Bandung adalah mendaki Gunung Gede.
"Kita balik aja yuk" ajak Bening. Menurutnya, akan lebih aman bila kami kembali. Meskipun harus menuruni hutan yang curam dan licin, setidaknya di sana kami masih berada dalam kawasan Tahura. Jika kami melanjutkan perjalanan menuju tebing, kami melewati jalan kampung di luar kawasan Tahura. Itu berarti keselamatan kami sudah di luar tanggung jawab pengelola Tahura. Hal itulah yang mendasari keyakinan Bening untuk kembali. Sebaliknya, saya cenderung memilih untuk lanjut.
"Kalau kita lanjut, setidaknya kita bisa berteduh di halaman rumah orang kalau nanti hujannya tambah deras. Tapi kalau balik, udah turunannya licin, gaada orang, terus kalau hujan kita gak punya tempat berteduh." begini pertimbangan saya melihat hujan mulai turun. Singkat cerita, kami sepakat untuk kembali ke kawasan Tahura. Belum keluar dari perkampungan, kami berpapasan dengan Ibu-ibu tadi.
"Yah Ibu ini nggak ngelarang ya. Gapapa kalau Neng berani. Bukannya apa-apa, Ibu ini khawatir banget kalau kalian balik lagi, cewek-cewek cuma berdua loh. Udah, lanjut aja ke Tebing. Tinggal deket lagi sampai di pangkalan ojek kok."Â tegas sang ibu melihat gelagat kami yang masih ingin kembali. Demi mematuhi nasihat penduduk lokal dan menghindarkan diri dari kualat oleh omongan orang tua, kami menurut. Ternyata benar, letak pangkalan ojek tak jauh dari perkampungan tadi meskipun harus melewati jalan sepi yang awalnya kami rasa mengkhawatirkan. Sampai di sana, kami diliputi satu kegalauan lagi.
"Tarifnya itu Neng, udah tertulis. Ke tebing pp 50.000 satu orang. Kalau ke bawah (ke loket Tahura) 50.000 juga. Kalau mau jalan ya terserah, tapi jaranya 3 kilo Neng." seorang tukang ojek mendekati kami. Menurut google maps, jarak menuju tebing hanya 1,7 kilometer. "Satu motor deh bertiga, saya kasih 80.000." tawar si Bapak melihat gelagat kami yang tak rela merogoh kocek.
"80.000 tapi nanti dianternya sampai bawah gimana Pak?" saya mencoba menawar dan berhasil. Tarif yang seharusnya Rp200.000 untuk menuju tebing lalu diantar kembali ke loket bawah berhasil kami dapatkan seharga Rp80.000,00. Setelah dijalani, ternyata jalannya lumayan jauh dan curam jika ditempuh dengan berjalan kaki. Worth it lah untuk milih naik ojek. Lalu sampailah kami.
Akhir kata....
Demikianlah petualangan saya di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Saya sangat puas dan bahagia telah menemukan tempat ini, lain daripada wisata yang lain. Dekat dengan alam, penuh petualangan, dan jauh dari orang-orang zaman digital yang mengantre tempat untuk berswafoto.Â
Kekurangannya ada dua. Pertama adalah kurangnya petunjuk arah di setiap persimpangan jalan. Kedua adalah ketiadaan jalan tembus antara Tebing Keraton dan Curug Maribaya. Meskipun termasuk dalam satu jenis tiket terusan, Tahura di Dago, Tebing Keraton, serta Curug Maribaya memiliki pintu masuknya sendiri-sendiri. Pengunjung yang sudah sampai ke Curug Maribaya harus keluar lagi ke jalan raya dan mengambil kendaraannya untuk dibawa ke pintu masuk tebing, begitu pula sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H