Selasa, 25 Desember 2018, tulisan ini masih termasuk dalam rangkaian cerita sebelumnya tentang kawah putih. Hari itu saya tidak menyangka hanya bisa mengunjungi satu destinasi saja. Toh rute plesirannya hanya di dalam kota, saya pikir bisalah mengunjungi tiga hingga empat lokasi. Ternyata tidak.
Tadi malam sejak sampai di penginapan, perasaan saya sedikit asam tanpa alasan. Ibarat sinyal radio, suara yang dihasilkan itu 'kresek-kresek'. Perasaan itu membuat pagi saya mager alias malas gerak. Pengennya pagi terus, nggak gerak ke siang. Pengennya juga di kasur terus, gak mau mandi. Dengan sedikit usaha untuk bergerak, bangkitlah raga ini menuju kamar mandi yang airnya sangat dingin.
Melalui sedikit diskusi tentang ke mana liburan hari ini akan dibawa, saya dan kawan saya memutuskan untuk mengunjungi pinggiran kota. Dari google maps andalan, saya menemukan Gua Belanda dan Gua Jepang tak jauh dari Taman Hutan Raya Djuanda (Tahura Djuanda).
Kami berdua sama-sama tak punya bayangan tentang seperti apa tempat tujuan kami. Mencari tahu pun tidak. Kami santai saja berangkat menuju lokasi terjauh lebih dulu, yaitu Gua Belanda.Â
"Kan tempatnya deketan. Nanti dari Gua Belanda bisa jalan kaki turun ke Gua Jepang sama Taman Raya."Â begitu pikir kami pada awalnya.
Setelah beberapa menit duduk dalam taksi online menuju arah Lembang, pak supir bertanya-tanya, "Di sini mbak tempatnya?" Wah, aku dan satu temanku tolah-toleh mencari petunjuk. Menurut maps, kami belum sampai di Gua Belanda. Lalu ternyata...... jeng jeng!!!!!!
"Bener deh kayaknya, itu ada plang menuju ke Gua Belanda"
"Iya, tapi ini gerbang masuknya Taman Raya. Kendaraan gak bisa masuk lagi."
Yasudah, akhirnya kami turun di situ. Ternyata eh ternyata, Gua Belanda dan Gua Jepang itu termasuk dalam satu kawasan Tahura Djuanda. Ternyatanya lagi, tidak cuma dua gua itu yang ada di dalam taman ini. Di dalamnya masih ada beberapa curug alias air terjun, PLTA (pembangkit listrik tenaga air), penangkaran rusa, museum, plasa, kafe, juga tebing keraton.
"Tiketnya dua orang tiga puluh ribu, Teh"Â kata bapak penjaga loket.
"Ini satu tiket udah buat ke mana-mana, Pak?"
"Iya, itu udah buat semuanya."Â
Waaaaaaah..... kami berdua terkesima. Dengan begitu banyak spot dan panjang trek yang berkilo-kilometer (paling mentok 5 kilo sih, dari ujung ke ujung), Rp 15.000,00 adalah harga yang sangat murah. Dapat gelang pula! Melihat banyaknya spot yang bisa dituju, semangat saya membuncah seketika.
Dari loket 2 Pos Tahura (kawasan ini memiliki 3 pintu masuk), trek yang bisa dilalui pengunjung dibagi menjadi dua, naik dan turun. Karena tujuan terbanyak ada di atas, kami memilih untuk turun terlebih dahulu. Tujuan pertama kami adalah Gua Jepang. Gua Jepang di kawasan Tahura ini merupakan satu dari puluhan Gua Jepang yang tersebar di seantero Indonesia. Tentunya gua ini dibangun pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, yakni tahun 1942 sampai 1945. Pada masa itu, Jepang memanfaatkan gua ini sebagai tempat untuk menyimpan amunisi, logistik, dan komunikasi radio.
Kondisi di dalam gua ini tidak semenyeramkan dan semistis apa kata orang. Terlebih dengan kondisi sekarang yang sudah banyak dikunjungi wisatawan. Memang keadaannya sangat gelap, dingin, dan lembab. Akan tetapi, pengunjung tidak perlu bergidik dengan hal-hal mistis yang kerap menjadi sorotan. Dibanding takut dengan penampakan yang tiba-tiba mecungul (muncul dadakan), saya lebih ngeri saat membayangkan betapa menderitanya para tawanan pribumi serta pekerja romusha yang banting tulang sembari berdarah-darah ketika membangun gua ini.
Trek 2: Gua Belanda
Pada awalnya, gua ini dibangun pada tahun 1906 sebagai terowongan untuk menyadap air dari sungai Ci Kapundung untuk pembangkit listrik. Pada tahun 1918, terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia memanfaatkan Gua Belanda untuk menyimpan mesiu sebelum dipindahkan pada tahun 1970-an. Selain itu, selama masa pendudukan Jepang, Jepang ternyata juga sempat mempergunakan gua ini. Istilahnya njupuk bati lah yaa. Kan enak tinggal make.
Satu hal yang harus pengunjung bawa ketika memasuki gua adalah senter. Senter ponsel yang menurut saya sangat terang (sudah teruji ketika mati lampu atau mendaki gunung di malam hari) ternyata tidak berguna sama sekali. Jangan khawatir, pengunjung bisa menyewa senter di mulut gua seharga lima ribu rupiah untuk sekali masuk. Mengenai kemistisannya, sekali lagi, saya tidak merasakan apa-apa. Memang banyak cerita tentang hal-hal gaib, contohnya disini. Namun bagi saya, selama niat saya tidak 'aneh-aneh' dan tidak mengganggu, saya yakin semua akan aman-aman saja.
Well, cerita saya kali ini kayaknya sudah terlalu panjang. Kalau dilanjutin, pasti kalian bosan dan capek bacanya. Yaaa sebenernya mata saya juga udah lelah sih, butuh vitamin A hehe (alesan!!). Janji deh, kelanjutannya gak bakal lama-lama. Masih tersisa banyak tempat yang belum kita jelajahi bersama. So, tunggu kelanjutannya yaaaa!!! ^.^
NB: Buat yang ngikutin cerita saya sebelum-sebelumnya, saya pernah janji buat nulis tentang Free Singapore City Tour. Maaf ya, belum sempat posting. Sekarang saya lagi pulkam dalam rangka liburan dan gak bawa laptop sementara dokumennya ada di laptop semua. Ditunggu ya. Thanks for reading!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H