Hujan belum reda. Kami berhenti dahulu menanti hingga bumi kembali aman untuk dilangkahi. Berlindung di bawah tas, meringkuk di sela-sela bebatuan besar, mojok di bawah pohon rendah, apapun kami coba lakukan untuk membuat tubuh kami sedikit lebih aman. Beberapa saat kemudian, hujan mengizinkan kami melanjutkan sedikit perjalanan. Tampaklah air terjun yang kami nantikan itu. Air Terjun Talempong namanya, sesuai dengan nama desa yang dialirinya. Tidak berniat mendekat, kami mengambil beberapa foto dari kejauhan. Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk segera bergegas. Keburu maghrib.....
Saat berbalik.....
"Waduuuuh.... gimana ini....?!"
Kami sama-sama khawatir. Hujan yang belum lama datang menambah volume air sungai. Kini sungai bertambah dalam dan arusnya semakin deras.
"Nunggu agak surut tah?"
"Jangan, nanti kalau tambah meluap gimana? Kalau gelap juga tambah susah." Benar saja. Di sana tentu tidak ada penerangan selain cahaya bulan yang diselimuti awan.
Tak ada hasil. Mereka tak berhasil membuat jalan. Terpaksa kami harus menyeberangi sungai bagaimanapun caranya. Bebatuan yang sebelumnya berperan sebagai punggung buaya tak lagi kelihatan. Mereka telah menjadi dasar sungai. Dengan hati-hati, kami mencoba mencari jalan untuk menyeberangi sungai.
Arus deras dan dasar yang tak menentu menjadi tantangan penyeberangan ini. Dua kali aku terpeleset, beruntung tangan tak sampai lepas dari pegangan. Jika satu kaki kuangkat untuk membuat langkah, kaki yang terangkat ini menari-nari hebat mengikuti arus. Luar biasa.Â
Pantas saja orang yang kebanjiran (di kota kami jenis banjirnya adalah banjir bandang) atau hanyut di sungai begitu sulit menyelamatkan diri. Ternyata arusnya memang sederas dan semematikan ini. Dan tentu saja kami tak bisa mengabadikan momen-momen menegangkan ini.
'Pokoknya tangan harus berpegang pada sesuatu. Kalau terlepas........ hanyutlah sudah....'Â Glek. Aku tak mampu membayangkan. Tapi aku tidak takut. Aku justru merasa, ini seru juga.