Tanpa rencana yang matang, aku dan seorang kawanku melakukan perjalanan ke air terjun Sumber Pitu beberapa bulan silam. Saat itu, aku sedang dalam kunjungan ke Malang selama sehari dan batal kembali ke Surabaya karena tidak berhasil mendapat tiket kereta.Â
Keesokan harinya dalam kondisi bersitegang, kami membuat keputusan yang sangat mendadak. Tak apalah, memang salahku sendiri labil.Â
Setelah cek cok sedikit, kami berangkat sekitar pukul satu siang. Setelah menempuh kurang lebih 40 menit perjalanan, sampailah kami di desa wisata Pujonkidul. Pujonkidul sengaja dipugar demi memfasilitasi gairah wisatawan jamannow yang gemar berburu spot foto sebagai bukti eksistensi liburan mereka. Tak bisa berkata banyak, aku sendiri belum tahu apa saja yang tersedia di desa wisata ini.
Lepas dari kawasan penduduk di Desa Pujonkidul, kami beralih ke jalanan berbatu yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua dan jeep. Dibanding sebagai prasarana transportasi, trek berbatu ini lebih cocok dikatakan sebagai sarana ngetrail. Jalanan yang menguji keterampilan berkendara ini berkelok membelah hutan dan ladang, jauh dari kawasan perumahan. Lewat pukul dua, kami mulai was-was karena medan yang kami tempuh semakin tak bersahabat. 'Jangan-jangan tersasar'.Â
Dari ulasan beberapa blogger aku tahu bahwa akses transportasinya memang tidak mudah, tapi tak mengira juga akan sejauh ini. Apalagi tak ada pengendara atau pengunjung lain yang kami temui di kawasan itu. Hanya satu dua penduduk yang membawa rerumputan.
Hanya ada tiga rombongan selain kami berdua. Dua rombongan yang masing-masing beranggotakan sepasang manusia sudah OTW pulang ketika kami berangkat. Satu rombongan sisanya, berisi sekitar tujuh laki-laki, berjalan di waktu yang hampir bersamaan dengan kami.
Sepaket Sumber pitu sebenarnya terdiri atas tiga macam air terjun, yakni "Sumber Siji" (air terjun tunggal dan paling besar), "Sumber Pitu" (tujuh air terjun yang berjajar, sebenarnya jumlahnya lebih dari tujuh, mungkin pernah terpecah karena fenomena alam), serta "Sumber Papat" (empat air terjun yang terletak di paling ujung di ketinggian 1500 mdpl, serta menyatu menjadi Sumber Siji yang jatuh di bawahnya).
Tepat satu jam lamanya kami berjalan kaki menyusuri lereng Gunung Kawi. Keseluruhan medannya menanjak. Tanjakan-tanjakan yang dinilai curam sudah dipermudah dengan anak-anak tangga sederhana. 'Kenapa nggak ada yang bilang sih kalau tracknya bakal sejauh ini. Ini sih sama aja separonya Gunung Panderman'.Â
Aku tahu, kebanyakan air terjun masih harus dicapai dengan medan yang mblasak-mblasak, tapi kalau sejauh dan seberat ini, ya harus pemanasan juga kan. Disinilah ayas (ayas: saya, bahasa Malangan) mulai mengomel....
Hanya perasaan khawatir akan datangnya gelap dan hujan yang merusak kenikmatan dan memaksa untuk mempercepat langkah. Satu jam, kami tiba di Sumber Siji. 'Woooaaaaaahhhh...... segarnyaaaa'. A
ku tak ingat lagi bahwa yang kucari adalah tujuh air terjun. Aku sudah puas sampai di sini. Mungkin juga karena lelah, sampai-sampai aku tak ingat bahwa seharusnya yang kutemui adalah tujuh air terjun, bukan satu.
Euforia tidak berlangsung lama. Kawanku langsung mengajak berjalan. 'Apaaa??? Masih belum sampai??' Kami pun mendaki lagi. Pendakian terakhir ini memakan waktu 15 menit saja, namun dengan medan lebih sulit. Jika kalian melihat-lihat foto di google, pasti foto yang didapat berbeda-beda, bergantung pada kondisi alam saat itu.Â
Berhubung aku datang di musim penghujan yang rawan longsor, anak tangga yang dulu dibentuk pun sudah tinggal separo. Sisanya hanya tanjakan curam setapak yang juga dibalur dengan sisa-sisa longsoran. Untuk sampai di atas, kami berpegangan pada (tali) tampar yang sudah terpasang sepanjang tanjakan.
Akses menuju Sumber Papat yang tinggal sedikit lagi tak memungkinkan untuk kami taklukkan. Pertama karena sudah lelah, kedua karena jalan setapaknya becek dan longsor, ketiga karena khawatir kemalaman.Â
Aku tak mau tertinggal di tengah hutan hanya berdua saja. Bahkan, kami juga tak bisa mendekat pada kaki Sumber Pitu. Padahal di sana sudah terpasang dua pasang bendera merah putih yang siap menyambut.
Akhirnya setelah kabut yang menutup hari, kami tutup pula perjalanan hari itu. Kembali tidak mendapatkan tiket kereta, aku menginap kembali dan pulang keesokan paginya.... Sampai jumpa lagi di escapes selanjutnya!!! (al)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H