Mohon tunggu...
Almira Raissa
Almira Raissa Mohon Tunggu... -

hanya ingin menyurat pada tinta apa yang tersirat oleh mata :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keputusan #2

6 Juni 2013   20:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak heran papa begitu. Justru Kara heran kalau papa nya diam saja. Kara sadar, ia pantas menerima semua celaan itu. Kalau jadi orang tua pun, ia pasti sudah mencambuk anaknya. Masih untung tidak dilempar ke dinding oleh papa. Setelah petir menggelegar didalam rumah mereka, mama menghampiri Kara dikamarnya. Mama bilang, mama akan dukung apapun keputusan Kara. Kalau mau aborsi-pun mama mau mengantarkan dan mencarikan tempat yang pantas.

Naif juga rupanya bidadari ini. Untuk tempat aborsi, mana ada yang pantas sih? Kara mencibir terang-terangan dihadapan mama-nya. Dan mama menerima keputusan Kara yang tetap akan mempertahankan janin itu walau dengan raut putus asa. Sebelum pergi meninggalkan Kara, mama memeluknya dan menangis meminta maaf atas kelalaiaannya mendidik Kara. Sebenarnya bukan mama yang salah. Toh yang melakukan hubungan intim kan Kara dan Ata, bukan Kara dan mama. Mama sama sekali tidak salah. Mama sudah memberikan pendidikan semaksimal mungkin. Agama, etika dan moral sudah mama tanamkan sejak Vanya dan Kara masih baru tumbuh gigi dua. Anak nya saja yang belangsatan. Begajulan dan lupa diri. Lupa kalau masih ada surga - neraka dan pencipta Nya.

" Tahun depan mau kuliah dimana, Ra? " tanya Vanya ditengah makan malam mereka.

" Haduh kak, kempes aja belum perut ini, elo udah nanya gue kuliah dimana, "

" Hahaha.. bukan gitu Ra! Maksud gue nanya kan biar gue bisa siap-siap kalo elo mau serius kuliah. Kita gak mungkin minta uang sama mama-papa. Mereka pasti udah eneg banget sama kita. Gue gamau kawin, gapunya pacar. Elo gamau kawin tapi hamil duluan. " kedua adik-kakak itu terbahak-bahak.

"Jadi, elo mau biayain gue, kak? Walaupun gue pingin ke Eropa?" goda Kara sambil mengunyah sayur daun katuknya. Setiap hari makan daun katuk, Kara makin merasa mirip kambing.

"Gue udah ngira koq. Lo pasti minta ke Jerman kan? In crush lo sama Postdam tuh selalu ada dimuka lo udah kayak spanduk!" Vanya terkekeh. "Lagian, kalau memang lo mau dan serius, gue ada tawaran promosi ke Jerman. Si boss minta keputusan akhir gue dua minggu lagi. Terus, 6 bulan ini gue akan urus semua keperluan dan administrasi buat kesana. Tiga bulan kemudian, gue harus bikin laporan terakhir proyek gue. Gimana? Gratis lho, gue kasih lo tawaran ini... "

Ke Postdam. Dulu, waktu belum jadi ibu hamil, ia antusias sekali. Setelah buncit begini, masih adakah sisa semangatnya?

"...sepuluh tahun lagi aku pasti lebih hebat dari Jeremi Teti dan Putra Nababan!" tekad Ata

"Sepuluh tahun lagi juga aku bakal jadi lebih hebat dari Mario Teguh!" dan tawa mereka pun membahana dilangit senja....

Ata... bagaimana dengan Ata? Dua bulan saja tersiksa sekali tanpa Ata. Bagaimana tahun-tahun berikutnya? Bagaimana dan bagaimana? Tetap di Jakarta masih ada kemungkinan bertemu dengan Ata, yang berarti masih ada kemungkinan hatinya sakit lagi. Atau labih parah, hati Ata yang sakit. Ah, mungkin tawaran Vanya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambilnya. Agar hidup Ata tetap normal dan ia bisa memulai hidup baru bersama jejak yang Ata tinggalkan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun