Mohon tunggu...
Almendo Thio Lindra
Almendo Thio Lindra Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Hobi Membaca dan Bermain Game

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Pendidikan Kita yang Belum Tuntas

18 Februari 2024   17:39 Diperbarui: 20 Februari 2024   07:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDIDIKAN di Indonesia tampaknya belum tuntas. Berbagai forum dan kajian tentang pendidikan banyak membicarakan tentang bagaimana caranya mengurai benang kusut masalah pendidikan yang kian larna kian kusut. Misalnya, masalah pendidikan yang satu belum selesai muncul lagi masalah baru, kebijakan pendidikan yang harapannya ditujukan untuk menyelesaikan masalah pendidikan, muncul lagi masalah baru akibat kebijakan pendidikan yang dibuat. Seperti misalnya kebijakan kurikulum 2013 yang rnenuai kontroversi namun tetap saja dipaksakan implementasinya, Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang banyak terjadi penyimpangan tetap saja tidak pernah ada evaluasi dan perbaikan. 

Begitu juga, kasus buku ajar yang tidak layak terbit karena berbau pornografi tetapi diresponse secara datar oleh pemerintah. Berbagai persoalan pendidikan baik dari aspek kebijakan, institusi, sumber daya pengajar, dan proses pendidikan selalu ada. Lalu, apa yang menjadi akar persoalan pendidikan di Indonesia? Mengurai benang kusut persoalan pendidikan perlu memberikan konteks pernaharnan tentang kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia seperti apa dan bagaimana.

Pada dasarnya, masalah pendidikan yang umum didengar oleh masyarakat seputar dan muncul di permukaan seperti anggaran pendidikan yang minim, kualitas guru yang rendah, kualitas pendidikan yang tidak merata, kurikulum yang tidak memuaskan, sarana dan prasarana yang belum memadai, biaya pendidikan yang mahal. Belum lagi, pendidikan di Indonesia yang dinilai berorientasi pasar, terkesan liberal, dan tidak berpihak kepada jiwa peserta didik telah mengindikasikan. bahwa ada sesuatu yang salah dalam pendidikan di negeri ini. 

Mempertanyakan akar masalah pendidikan di Indonesia perlu di runut bagaimana ideologi pendidikan yang dianut. Apabila kita meng-gunakan Teori Sistem, dapat dijelaskan bahwa masalah pendidikan di Indonesia bertitik tolak pada sistem yang sifatnya sistemik. Akar masalah pendidikan sebenarnya berpijak pada sistem pendidikan nasional yang tidak konsisten, cenderung politis, dan salah kaprah secara sistem. Ironisnya, persoalan sistem tidak pernah juga diselesaikan tetapi malah cenderung dibiarkan berkembang semakin membesar. Akibat salah kelola sistem pendidikan menyebabkan bagaimana pendidikan berubah wajah dan disorientasi tujuan.

Mau ke mana?

Sebenarnya pendidikan Indonesia mau dikemanakan dan akan diarahkan kemana masih kabur dan miskin karakter kerbangsaan. Saat int praktek pendidikan di sekolah semakin menjurus pada ketidakpedulian para stakeholder sekolah terhadap muridnya. Kualitas murid direduksi dan diukur berdasarkan kekuatan finansial siswa untuk mencukupi pundi-pundi sekolah sedangkan ada siswa yang berprestasi dibiarkan untuk berprestasi tetapi tidak pernah diperhatikan kesejahteraannya. Logika (berpikir) membutuhkan logistik, untuk berpikir sehat, jernih, dan berkarakter memerlukan logistik sebagai pendukungnya. Bentuk logistik dapat berupa dukungan pemenuhan untuk mendapatkan kebutuhan dasar peserta didik. Namun, seperti kata pepatah “habis manis sepah dibuang,” banyak anak bangsa yang cerdas, pintar, dan berdedikasi memiliki jiwa nasionalisme tetapi tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Misalnya, kasus atlet Sea Games balap sepeda Suswanti ditahan ijazahnya gara-gara menunggak biaya pendidikanya dengan sekolah. Tampaknya prestasi di luar sekolah maupun di dalam sekolah bukan hal suatu kebanggaan bagi sekolah tetapi hanya sebatas pemanis bibir bahwa oleh sekolah tersebut ada seorang atlet tetapi bukan sebagai bagian dari sekolah.

Logika sekolah sudala diarahkan sebagai logika bisnis bahwa siswa yang tidak berkontribusi secara keuangan tidak mungkin akan mendapatkan perhatian dari sekolah. Prestasi intelektual, olah raga dari prestasi yang sifatnya individual belum tentu diharapkan oleh sekolah. Sekolah merasa hermat dan cenderung takut untuk kehilangan pundi-pundi uangnya dengan harus membantu siswa yang kurang mampu dan berprestasi.

Siswa kurang mampu = beban sekolah 

Nalar sekolah kebanyakan sekarang ini lebih banyak menekankan  pada filosofi bahwa siswa kurang mampu meskipun berprestasi adalah beban sekolah. Beban sekolah yang  dimaksudkan di sini adalah membebani anggaran sekolah yang harusnya bisa dikelola oleh guru untuk study tour, untuk kegiatan lain tetapi merasa berat harus diberikan kepada beberapa siswa yang kurang mampu untuk mendukung mereka berprestasi. Rasa eman-eman untuk mengeluarkan uang demi anak didiknya menjadi pandangan umum. Sekolah mudah sekali menerima uang dari siswa semaunya tetapi sangat perhitungan untuk membantu dan mendukung peserta didik yang ingin berprestasi dan membanggakan nama baik sekolah tersebut. Daya nalar yang dibentuk secara sistemik untuk membiarkan siswa yang kurang mampu berprestasi, berjuang sendiri dalam menghidupi dalam keterbatasannya telah mencederai moral pendidikan kita. Seolah-olah pendidikan yang mengajarkan moral yang baik dan menanamkan kebaikan ternyata secara sistem tidak mendukung untuk membuat tindakan atau setidaknya membuktikan tindakan bagaimana nilai-nilai moral dapat diwujudkan dan diimplementasikan di sekolah.

Antara uang dan idealisme

Apabila merunut akar persoalan pendidikan kita ternyata masih berkisar antara perut dan idealisme. Bagaimana membangun pendidikan yang berkarakter ketika persoalan perut belum selesai atau setidaknya belum mendapatkan perhatian yang layak. Idealisme untuk memperjuangkan pendidikan yang ideal dikalahkan oleh sistem keuangan yang maha esa. Uang menjadi lebih berkuasa dan mengalahkan idealisme. Oleh karena itu, persoalan pendidikan kita sampai sekarang ini belum selesai karena ideologi pendidikan masih di area abu-abu. Menuntaskan persoalan pendidikan kita perlu menuntaskan ideologi yang dianut pendidikan kita apa dulu? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun