Keaktifan perempuan dalam terorisme di Indonesia pasca ISIS sendiri memiliki berbagai peran yang dibagi menjadi 2 yaitu peran tidak langsung (pendukung) dan peran langsung. Peran tidak langsung (pendukung) adalah peran yang mendukung jaringan ISIS namun tidak ikut terlibat dalam aksi terorisme (Musfia, 2017). Dalam posisi tersebut perempuan digunakan sebagai pendukung secara sikap sosial, finansial, dan material. Peran pendukung ini biasanya datang dari simpatisan perempuan ISIS di Indonesia yang diantaranya hanya bergerak pada forum diskusi, lalu pada peran tidak langsung perempuan juga digunakan sebagai alat propaganda sebagai alat menyatakan aspirasi. Perempuan dalam peran tidak langsung terorisme berperan sebagai pendukung moral seperti ibu, istri, dan pengasuh. Intinya adalah dalam peran tidak langsung ini perempuan hanya digunakan sebagai alat pendukung tanpa melaksakan aksi terorisme, di Indonesia sendiri perempuan sangat rentan berperan tidak langsung daripada peran langsung dalam terorisme. Selain itu strategi dan taktik NIIS Internasional menggunakan perempuan dalam peran sebagai pasukan artileri dan juga pelaku bom bunuh diri. Wacana feminisme juga menyimpulkan perempuan sebagai kelompok yang paling dapat diandalkan dalam segi loyalitas dan juga kesetiaan. Selain itu, secara sosiologis perempuan merupakan sebuah kelompok yang rentan.
Sedangkan dalam peran langsung dalam terorisme perempuan memiliki berbagai macam peran, peran tersebut merupakan aksi nyata bukan hanya sekedar pendukung. Terdapat berbagai macam peran perempuan dalam perang langsung terorisme, peran yang pertama adalah sebagai keterlibatan langsung tetapi bukan sebagai pelaku bom bunuh diri, di Indonesia posisi tersebut ditempati oleh beberapa perempuan seperti Umi Delima, Rosmawati, dan Tini Susanti yang tergabung aktif kedalam kelompok MIT pimpinan Santoso. Perempuan lainnya yaitu Tutin Sugiarti dan Arinda Putri Maharani dari jaringan ISIS Bahrun Naim melalui Solihin (IPAC, 2017), dalam peran tersebut perempuan dilibatkan langsung seperti di camp pelatihan dan ikut serta dalam aksi baku tembak. Lalu peran yang kedua dalam peran langsung terorisme perempuan adalah sebagai recruiter, dalam peran ini perempuan sebagai penerima atau perekrut anggota baru untuk dijadikan teroris laki laki maupun perempuan. Dan yang ketiga adalah perempuan berperan langsung dalam aksi pelaku bom bunuh diri, pada peran ini perempuan sebagai martir bom. Di Indonesia peran pelaku bom bunuh diri perempuan telah dilakukan pada aksi 13 Mei 2018 pada salah satu Gereja di Surabaya, Puji Kuswati ibu rumah tangga menjadi bomber perempuan dalam aksi ini, ISIS mengklaim aksi ini. Potensi radikan yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi suatu niat atau motif radikal yang dapat mengarah pada aksis terorisme. Prof. Amany Lubis sebagai ketua bidang peremuan, remaja dan keluarga Majelis Ulama Indonesia menerangkan bahwa sesuan dengan fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang terorisme, tertulis bahwa segala tindakan teror yang dapat menimbulkan ketakukan yang ada di tengah masyarakat hukum nya adalah haram.
Sejak 2014 terorisme perempuan di Indonesia semakin meningkat, hal ini dikarenakan 2014 merupakan kedatangan ISIS di Indonesia sehingga masyarakat Indonesia rentan teradikalisasi baik perempuan maupun anak anak. Peran perempuan dalam terorisme di Indonesia sendiri juga berbeda beda berdasarkan peran langsung maupun tidak langsung, semenjak kedatangan ISIS di Indonesia terorisme perempuan semakin meningkat dari 4 orang pada tahun 2011 -- 2015 menjadi 32 orang pada 2016 -- 2020 (Pusparisa, 2021). Upaya untuk mengatasi hal ini adalah harus dengan melalui pendekatan dan juga memberi tempat kepada para perempuan yang merasa membutuhkan dampingan
- Pencegahan peran perempuan dalam terorisme di Indonesia Pasca kemunculan ISISÂ
Perempuan di masa kini telah berevolusi dalam tindakan terorisme yang awalnya hanya sebatas penyuplai bantuan (support) sekarang mereka telah menjadi aktor utama dalam tindakan terorisme di beberapa kejadian baru-baru ini. Pergeseran peran perempuan dalam aksi teroris yang awal mula bergerak secara tak terlihat sebagai ideological support dan juga sebagai alat regenerasi terhadap generasi penerus teroris dari anak-anak mereka. Perempuan berperan mendidik anak-anak mereka agar searah dengan ideologi yang dianut oleh keluarganya. Sehingga diharapkan anak tersebut menjadi penerus perjuangan 'jihad' yang dilakukan oleh orang tuanya. Hingga saat ini peran perempuan telah memiliki peran baru menjadi visible rules seperti aktor utama dalam pengeboman di Makassar dan Surabaya.
Hal tersebut dapat dilakukan karena perempuan memiliki kecenderungan rentan terpapar radikalisasi. Perempuan dapat mudah terpapar radikalisasi karena ada beberapa faktor yang mendukung dalam membantu perkembangan radikalisasi yaitu faktor budaya patriarki, ekonomi dan minimnya akses informasi. Oleh karena itu diperlukannya pencegahan agar peran perempuan dalam teroris tidak semakin berkembang lebih jauh lagi. Karena menurut WA.Bonger (1995) mengatakan dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada upaya yang bersifat represif. Tujuan dari upaya pencegahan ini untuk memperbaiki sistem sosial tertentu, namun secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap pengurangan perkembangan terorisme dan radikalisme.
Indonesia menerapkan strategi soft power dan hard power dalam melaksanakan pencegahan perempuan sebagai aktor utama tindakan teroris. Strategi soft power ini melalui deradikalisasi mantan napi terorisme, penanaman nilai-nilai Pancasila kedalam pembelajaran tingkat dasar, dan pemberian pemahaman tentang bahayanya tindakan terorisme dan radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga mendorong perempuan sebagai seorang ujung tanduk pencegahan terorisme muncul. Selain itu perkembangan terorisme perempuan juga dapat terjadi karena kurangnya perhatian dalam mengungkapkan alasan mereka bergabung kedalam jaringan organisasi teroris di Indonesia. Konteks perempuan tersubordinasi juga patut dijadikan sebagai elemen penting dalam mengetahui motivasi mereka masuk kedalam organisasi terorisme. Pemerintah harus lebih memperhatikan mengenai hak yang wajib didapatkan oleh setiap Wanita di Indonesia sehingga mereka tidak merasa terpinggirkan, terdiskriminasi, dan tidak mendapat keadilan. Sehingga apabila perempuan telah mendapatkan haknya maka kemungkinan mereka dapat membantu pemerintah memberantasi terorisme beserta akar-akarnya. Menurut BNPT perempuan merupakan pemegang peran strategis simbol ketahanan keluarga, karena ibu dapat menjadi tameng perlindungan kepada anaknya agar tidak mengikuti jejak terorisme atau pemikiran radikalisme. Dengan berkembangnya banyak aksi propaganda yang dilakukan oleh beberapa organisasi terorisme yang sama seperti ISIS di Indonesia seperti Jamaah Islamiyah (JI), Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dibutuhkan peran seorang ibu atau istri dalam membendung propaganda agar tidak masuk kedalam keluarga mereka dengan pemahaman yang luas dimiliki seorang perempuan sehingga dapat mengelak propaganda dari organisasi tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan Langkah yang lebih jauh lagi yakni menyentuh akar terorisme (roots of terorism) melalui Langkah resosialisasi dan reintegrasi mantan pelaku terorisme kedalam masyarakat.
Strategi hard power yang dilakukan oleh Indonesia berupa pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), operasi penyerbuan terhadap tempat yang dianggap sebagai persembunyian para teroris, dan penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku teroris yang benar-benar terbukti melakukan aksi kejahatan teroris tersebut. Dalam strategi hard power ini peran personil TNI dan POLRI sangat penting dalam mengikuti perkembangan teknologi masa kini dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya Pendidikan reserse dan intelijen sehingga dapat dengan sigap mendeteksi rencana tindakan terorisme sebelum hal tersebut terjadi. Strategi yang dilakukan juga harus memahami bahwa rencana terorisme semakin hari semakin berkembang dan tidak terduga. Terlebih lagi adanya peran perempuan sebagai aktor terorisme yang sulit di deteksi oleh pihak berwenang sehingga strategi yang diterapkan harus terus mengikuti perkembangan terorisme saat ini.
- Kesimpulan
Pergeseran peran perempuan dalam aksi teroris harus menjadi perhatian utama pemerintahan Indonesia guna menanggulangi kejahatan teroris di Indonesia. Peran perempuan dalam dalam aksi teroris semakin memberikan bahaya yang tinggi terhadap keamanan negara karena perempuan dianggap sangat rentan terkena radikalisasi ideologi terorisme. Sehingga diperlukan aksi mencegah keterlibatan perempuan dalam kejahatan terorisme di Indonesia. Salah satunya dengan cara lebih memperhatikan hak yang wajib diterima perempuan sebagai warga negara Indonesia. Karena kebanyakan dari perempuan terorisme di Indonesia muncul karena adanya permasalahan mengenai budaya patriarki yang masih tinggi, perekonomian yang buruk dan minimnya akses informasi. Perasaan terpinggirkan, terdiskriminasi, dan tidak mendapat keadilan juga menjadi salah satu alasan utama perempuan ikut serta dalam kejahatan terorisme di Indonesia. Diharapkan pemerintah dapat memahami permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka sehingga penyebaran ideologi terorisme dapat dicegah dimulai dari akar-akarnya.
Penulis:
M Aditya Gerald / Mahasiswa HI UPN Veteran Jawa Timur
Eric Rolando  / Mahasiswa HI UPN Veteran Jawa Timur