Mohon tunggu...
Alma Zulfa Rahmania
Alma Zulfa Rahmania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 di program studi Pengembangan Masyarakat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tanggapan terhadap Kenaikan PPN 12%: Dampak dan Justifikasi Kebijakan Pemerintah

23 Desember 2024   08:43 Diperbarui: 23 Desember 2024   08:43 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, telah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat dan para ekonom. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Meskipun pemerintah menyatakan bahwa kenaikan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, banyak pihak yang mempertanyakan keabsahan klaim tersebut serta implikasi jangka panjang dari kebijakan ini.

Dalam artikel CNN Indonesia, dinyatakan bahwa kenaikan tarif PPN ini merupakan langkah yang telah ditentukan dalam UU HPP dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara serta mengurangi defisit anggaran. Namun, penulis artikel tersebut juga mengakui bahwa meskipun barang-barang kebutuhan pokok akan tetap bebas PPN, kenaikan ini tetap akan mempengaruhi harga barang dan jasa lainnya, yang pada gilirannya dapat menekan daya beli masyarakat.

Kenaikan PPN diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Namun, analisis dari berbagai sumber menunjukkan bahwa hal ini juga dapat menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat. Penurunan daya beli akibat kenaikan harga barang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memprediksi dampak inflasi akibat kenaikan PPN hanya sebesar 0,2%, tetapi ini tetap berpotensi merugikan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah tertekan oleh biaya hidup yang tinggi.

Pemerintah berargumen bahwa kenaikan ini adalah bagian dari reformasi perpajakan yang lebih luas untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien. Namun, kritik muncul mengenai transparansi dalam penggunaan dana yang dihasilkan dari pajak ini. Apakah dana tersebut akan dialokasikan secara efektif untuk program-program sosial atau infrastruktur yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat?

Ada juga perspektif politik yang perlu dipertimbangkan. Kenaikan PPN ini diinisiasi oleh partai politik tertentu, yaitu PDIP, yang sebelumnya mendukung kebijakan tersebut namun kini menghadapi tekanan dari publik untuk menunda implementasinya. Ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kebijakan pemerintah dan harapan masyarakat.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. Namun, perlu ada perhatian serius terhadap dampak sosial-ekonomi yang mungkin ditimbulkan. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai bagaimana dana dari pajak ini akan digunakan untuk kepentingan umum. Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan masukan dari berbagai pihak dan mempertimbangkan untuk melakukan kajian lebih mendalam sebelum menerapkan kebijakan ini secara penuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun