Sejak beberapa minggu lalu sebuah poster virtual tentang acara Muara Enim Coffee Festival 2019 kudapati dari salah satu grup WhatsApp. Kebetulan sekali, aku berdomisili di kota itu.
Yang kutahu, salah seorang teman dalam grup kami itu memang sosok perempuan kopi. Setidaknya begitulah aku dikenalkan padanya. Soufie Retorika, tak banyak yang kutahu tentang Yuk Soufie ini selain bahwa ia mempunyai usaha di bidang kopi dan memang penyuka kopi.
Dalam grup WhatsApp kami sendiri, ada banyak penikmat kopi lainnya. Sedangkan aku? Jujur, aku suka kopi. Tapi bukan penikmat dalam artian rutin mengonsumsi cairan hitam itu. Apalagi semenjak hamil dulu.
Hanya saja keluargaku, baik dari sebelah ibu maupun ayah telah mengalirkan darah kopi pada kami. Mereka hidup sebagai anak petani kopi. Hingga saat ini.Â
Ayahku berasal dari Lintang IV Lawang. Jenis kopinya? Duh, jangan tanya aku. Kalau sekedar tebak-menebak mungkin masih masuk kopi Robusta karena dekat dengan Suku Besemah.
Sedang ibuku asli Semendo. Kopi Semendo lumayan lebih sering terdengar gaungnya dibandingkan kopi dari Lintang. Jenisnya bisa aku sebutkan dengan lantang, Robusta. Semoga tidak salah juga. Kami masih hidup dari kopi Semendo. Bakwo dan Makwoku adalah petani kopi dataran tinggi Sumsel itu.
Tapi aku tak pernah tahu beragam proses yang menjadikan kopi itu sangat mahal di kafe-kafe di kota sana. Sampai tadi, ketika aku akhirnya datang ke acara Muara Enim Coffee Festival 2019.
Kedatanganku karena ingin berjumpa dengan Yuk Soufie. Karena memang belum pernah aku bertemu langsung. Kami hanya bersapa-ria dalam grup Kompal saja.Â
"Mumpung lagi ke Muara Enim."Â Begitu dalam benakku.
Ternyata, aku tak hanya bersilaturahmi dengan ayukku satu ini. Pertemuan pertamaku dengannya sangat berkesan. Karena akhirnya aku mengenal kopi lebih dalam dalam beberapa jam itu.