Tentang kesabaran dalam proses. Bahwa menghasilkan segelas kopi enak kelas dunia jelas ada tahapannya. Mulai dari memilih biji kopinya, menyortirnya, menggorengnya, menggilingnya, hingga menyeduhnya. Semua ada tekniknya.
Hari ini mataku berbinar-binar karena semua itu. Bukan tak pernah aku melihat para barista menggiling kopi dengan grinder modern kemudian menyeduhnya dengan kertas penyaring kopi itu. Bukan tak pernah aku minum kopi tanpa gila bahkan espresso sekalipun. Pernah. Â
Tapi tak pernah membuatku antusias untuk tahu dan mencari tahu. Tahuku hanya minum saja.
Kemudian, aku melihat dua beranak itu menyeduh kopi dengan teliti dan hati-hati. Doa dan harapku ikut menggema di hati. Baru kali ini kulihat kopi dibuat sepenuh hati. Kupikir hanya hobi. Ternyata cinta yang terpatri.
Akhirnya aku sampai pada kesimpulan tentang alasan kopi di cafe kota sana mahal harganya. Ada ilmu dan cinta dalam prosesnya. Baik dari peramu kopinya juga dari petaninya.
Banyak hal yang kuperoleh hari ini. Mungkin belum semuanya tertuang di sini. Ini hanya sedikit awal perkenalanku kembali dengan kopi. Walaupun aku adalah anak-cucu petani kopi, ternyata masih ada banyak sekali hal tentang kopi dari tanah kelahiranku (Semendo) juga dari tanah kelahiran ayahku (Lintang) yang belum kuketahui.Â
Tapi hari ini, mataku terbuka untuk lebih peduli. Tentang komoditas kopi ini. Mungkin kopi dari kebun kami di Semendo sana bisa naik derajatnya setelah melalui proses panjang dalam pembelajaran.
Aku perlu banyak ngilmu kepada Retorika Coffee ini. Salam Kompal kompak selalu!