Aku memandanginya dari kejauhan. Pria itu gusar mencari-cari senja. Kuintip sesuatu di belakangku, senja aman di sana. Aku tersenyum.
Tujuh hari ini kegiatan rutinku adalah menikmati kegelisahannya. Telah tujuh hari ia kehilangan senja. Aku yang mengambilnya, menyimpankan untuknya. Untuk apa? Hmm, untuk apa ya.. Aku pun sedang berpikir. Aku ingin menggunakan senja-senja itu sebagai cara untuk mendapatkan dia, si tampan di seberang sana.
Hari ke delapan. Dalam kegelapan aku meraba-raba. Tetiba fajar tak menampakkan wajahnya. Bingung bukan kepalang, aku berputar-putar, berusaha menemukannya. Sampai kurasa kaki melemah, aku terjatuh tak berdaya dalam gulita.
Mendadak sudut di belakangku bersinar, semakin lama semakin dekat. Aku menengadah, si pria tampan membawakan fajar. Ingin ku langsung berdiri dan memeluk. Mmm, memeluk si pria tampan. Namun apa daya, aku terlalu terpesona. Kuteringat pada skenario yang telah kususun di hari ke-5.
“Hai, kamu mencari senja ya? Senja-senjamu aman bersamaku, dan akan aku kembalikan sesegera mungkin. Tapi boleh ya aku mengajukan syarat? Jadilah fajarku, maka akan kukembalikan senjamu tanpa cacat.”
Skenario yang menjijikkan bukan? Maka aku pun tak pernah berani menyampaikannya. Tapi ketika tiba-tiba dia muncul di sini membawa fajar, aku kemudian terpikir untuk menggunakan skenario itu. Memanfaatkan kesempatan. Aku akan mengubah sedikit, seperti ini:
“Hai, kulihat kamu membawa fajarku. Aku tahu, kamu pasti sudah tahu bahwa aku yang mengambil senja-senjamu selama 7 hari ini. Baiklah, aku meminta maaf, aku akan mengembalikan semua senja tanpa cacat, dan fajar itu boleh untukmu. Satu saja permintaan dariku, jadilah fajarku.”
Ahh, rasanya itupun terlalu memuakkan. Maka aku pun berpikir-pikir lagi untuk mengatakannya. Lalu kudengar suara si pria tampan menyapaku,
“Hai, ini kubawakan fajar milikmu. Tadi kupinjam sebentar, karena ibuku membutuhkannya. Maaf ya aku mengambil tanpa izin. Aku datang dengan maksud mengembalikannya.”
Aku terdiam. Hanya tanganku tergerak meraih fajar di genggamannya. Tak sanggup berkata-kata, aku tersenyum dan mengangguk. Oh, dan sedikit menggumam, “Tak apa..”
Pria tampan itu pun berlalu. Aku kaku, menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Mendadak dia berhenti, menoleh lagi ke arahku, dan berkata,