Pembajakan buku di Indonesia memang nggak ada habisnya. Mulai dari kios-kios di pinggir jalan yang pelanggannya berasal dari masyarakat umum, anak sekolah, mahasiswa, bahkan dosen sekalipun. Sampai yang sedang tren sekarang yaitu lewat marketplace.
Kenapa saya bilang marketplace? Karena marketplace atau situs belanja online yang paling gampang dan menjanjikan bagi para penjual buku bajakan laknat.Â
Kalau pakai media sosial semacam Instagram, WhatsApp, dan lain-lain kemungkinan penjualannya nggak akan seramai di marketplace yang memang didesain sebagai pasar online.
Saya termasuk orang yang sering belanja buku online. Buku asli ya tentunya... dan saat proses scrolling itulah sering sekali menemukan buku-buku bestseller dengan harga yang sangat miring. Contoh saja novel Harry Potter harganya cuma 20 ribu - 80 ribuan saja per eksemplar. Padahal kalau beli di toko buku ori setara dengan uang makan 3 hari. Ensiklopedia impor yang harganya bisa buat bayar kosan satu bulan, harganya cuma 90 ribuan saja. Miris!!
Baik buku lokal maupun luar negeri nggak ada yang bebas dari pembajakan di negeri Wakanda tercinta ini. Masalahnya pun bukan hanya dari pihak oknum atau penjual nakal, tetapi masyarakatnya pun sangat gemar membeli buku bajakan. Bahkan di beberapa kampus, dosen pun mendukung mahasiswanya untuk membeli buku bajakan dan fotokopian.Â
Meskipun bisa ngeles untuk alasan edukasi dan ilmu pengetahuan, kalau keterusan apa nggak rugi penulis dan penerbitnya? Sudah susah-susah kuliah sampai jenjang Magister, Doktor, eh ilmunya dicuri secara tidak bertanggung jawab.
Buku bajakan di marketplace cukup jelas ciri-cirinya. Biasanya terdapat embel-embel "repro/reproduksi", "cetak ulang", "super copy" yang artinya sama saja barang KW alias palsu. Sementara toko buku asli biasanya hanya akan dicantumkan cetakan ke- berapa atau edisinya. Parahnya ada yang terima request buku apa yang mau dicetak. Memangnya nasi padang?
Ciri lain yang paling kentara pastinya soal harga yang dibanderol. Sebelum membeli, cari tahu dulu informasi dari toko-toko buku resmi baik offline maupun online. Kalau perlu cari informasi langsung dari penerbitnya, bisa dari website atau media sosial. Sehingga nggak akan keliru membeli buku bajakan. Karena dari beberapa review pembeli yang sengaja saya kepoin, banyak yang kecewa akibat tidak tahu bahwa buku yang mereka beli ternyata bajakan.
Dari pihak marketplace sendiri sebenarnya sudah giat memblokir akun-akun yang bermasalah dan melanggar hukum. Tetapi kita tahu sendiri bahwa warga negara ini sangatlah kreatif, hal seperti ini tidak menyurutkan sepak terjang para pedagang nakal.Â
Mendaftar akun baru dan mengganti informasi toko online sama sekali bukan hal yang sulit. Nggak ada bedanya dengan situs nonton film ilegal yang selalu kucing-kucingan dengan aparat.
Untuk mengakhiri lingkaran setan yang tidak berujung ini, butuh kesadaran dari setiap individu. Kesadaran untuk menghargai setiap bentuk karya cipta. Karena yang namanya nulis buku itu nggak mudah. Banyak tantangan, cobaan, dan segala gundah gulana yang terkadang menyerang.Â
Saya sebagai penulis amatiran pun turut merasakan. Betapa sedihnya karya yang sudah ditulis dengan susah payah dan penuh perjuangan, berakhir dibajak oleh pihak tidak bertanggung jawab demi mengenyangkan perut mereka sendiri. Belum lagi penerbit yang rugi besar setelah mengeluarkan banyak modal karena kalah oleh buku-buku bajakan yang harganya jauh lebih murah.
Sebagai pembaca, kita juga harus mau sedikit modal. Kalau masalahnya tidak punya uang, bisa menabung dulu. Toko buku besar seperti Gramedia biasanya sering memberi diskon besar di event-event tertentu. Atau kalau mau lebih mantap, datang ke bazar buku. Saya pun nggak mau ketinggalan saat ada event pameran besar dan sering memborong buku-buku asli dengan harga mulai 10 ribuan.Â
Soal harga yang sangat murah, rugi atau tidaknya, itu urusan toko dan penerbit. Yang terpenting buku yang kita beli asli. Bisa dipertimbangkan juga untuk membeli buku bekas yang masih layak. Ini sangat jauh lebih baik daripada membeli buku bajakan.
Cara terakhir kalau memang tidak mau keluar uang sama sekali, hanya perlu modal "nembung" alias pinjam ke teman, saudara, pacar, maupun tetangga. Bisa juga ke perpustakaan sekolah, kampus, atau perpustakaan daerah. Cukup mendaftar dan membuat kartu anggota untuk bisa meminjam buku. Syaratnya hanya satu, yaitu "bertanggung jawab".
Semoga saja masyarakat kita semakin melek literasi dan bisa lebih menghargai setiap karya cipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H