Mohon tunggu...
Alma Nurullita
Alma Nurullita Mohon Tunggu... Penulis - Generasi muda penerus bangsa

Penyuka literasi, hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan ke Langit

7 Februari 2022   20:28 Diperbarui: 7 Februari 2022   20:31 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : cdn.pixabay.com

Suara dentuman keras itu masih terbayang di kepalaku. Kejadian yang hanya berlalu beberapa detik sehingga aku tak mampu mengingatnya dengan begitu jelas, yang pasti mobil itu menghantam motorku dengan keras hingga membuatku terpental  ke jalan raya. Kupikir aku akan mati saat itu juga, tapi ternyata kondisiku cukup baik. Sepertinya aku hanya mengalami luka ringan dengan beberapa jahitan di kening.

Kemudian aku ingat bahwa aku ada janji dengan Venna. Pacarku itu akan ke pergi ke Amerika besok, dan hari ini terakhir kalinya kami bisa bertemu sebelum dia pergi. Dia tak tahu aku kecelakaan dan tentu saja khawatir karena aku tak menjawab teleponnya.

Dengan luka yang masih basah aku memaksakan diri untuk pergi. Kurasa lukanya tak terlalu parah jadi tak perlu berlama-lama disini. Aku segera menemui Venna di parkiran. Ia sudah menungguku dengan mobil kuning kecilnya, mobil imut yang sangat pas dengannya. Venna melambaikan tangan dan bersiap memakai jaketnya.

Dari kejauhan Venna melambaikan tangannya dengan penuh kebahagiaan. Tetapi Ia terkejut setelah melihat luka-lukaku.

"Kamu kenapa, habis jatuh?" tanyanya penuh kekhawatiran.

"Ada kecelakaan sedikit tadi. Aku baik-baik aja kok cuma lecet-lecet. Motor juga udah ada yang ngurus." aku mencoba menenangkannya.

"Tapi.." ia terlihat ragu, "Beneran?"

"Kalau nggak baik aku ga bakal jalan kesini."

"Ronan, aku tahu kamu masih agak sakit. Tapi ini terakhir kalinya kita bisa ketemu sebelum aku pergi ke Amerika. Jadi aku pengen kita jalan-jalan seharian ini!"

Aku tertawa mendengarnya. Venna terlihat begitu sedih akan berpisah denganku.

"Kan kamu cuma 3 bulan perginya, jangan berlagak seolah kita nggak akan pernah ketemu lagi!" Aku menyentil lengannya dan dia hanya tertawa tanpa membalasku. Mobil kuning itu sangat cocok dengannya. Ia membelinya dari hasil tabungannya selama bertahun-tahun dengan sedikit bantuan dari orang tuanya. Karena kondisiku yang tidak memungkinkan Venna lah yang menyetir.

"Kita mau kemana?" tanyaku.

"Kemana aja asal sama kamu." Jawabnya asal.

"Kalo aku nyebur ke laut kamu juga bakal ikut?"

"Bahkan sekalipun kamu mati aku bakal ikutin kamu." raut wajahnya terlihat serius. "Cuma bercanda! Jangan dimasukin hati."

Mendengarnya, aku hanya tertawa.
Setelah satu jam perjalanan, Venna belum juga mengatakan kemana tujuan kami. Dia tampak begitu tenang dan menikmati suasana. Matahari tak terlalu terik karena tertutup mendung. Di langit barat awan putih tebal bersemu abu-abu berarak pelan. Angin dingin bertiup pelan hingga membuat udara terasa lembab. Sepertinya gerimis akan segera turun.

"Kelihatannya bakal hujan deh."

"Kenapa, kamu takut basah? jawab Venna sambil tertawa. Sekali lagi Ia membuatku tertawa. Aku bahkan menjulurkan tangan kiriku ke jendela mobil untuk merasakan embusan angin yang dingin tetapi menyenangkan.

Tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan mataku mulai berkunang-kunang. Aku meraba bekas jahitan di kening yang berdarah. Selama beberapa saat aku merasa hilang kesadaran, dan saat aku mulai terbangun, Venna menggoyangkan tubuhku seraya memanggil namaku.

"Ronan, Ronan, kamu kenapa? Bangun Ronan!"

Sejenak rasa sakitnya mulai mereda, 

"jahitannya robek sedikit. Nggak perlu khawatir, kita lanjut aja."

Venna memelukku. Ia tampak lega karena aku baik-baik saja. Kami melanjutkan perjalanan setelah sempat berhenti di depan pom bensin yang sedang direnovasi. Sepanjang perjalanan kami banyak bicara dan tertawa, seperti tujuan awal kami untuk menghabiskan waktu berdua sebelum Ia pergi. Tanpa memberitahuku, Venna berbelok ke gerbang wisata gunung dan memarkirkan mobilnya.

"Ayo turun." Ujarnya kegirangan.

"Kenapa kita ke gunung? Padahal kelihatannya bakalan hujan lho."

"Emang kenapa kalau hujan? Kan kita bukan mau ke puncak."

Venna berlari ke gerbang utama dan mendaki sekitar lima belas anak tangga . Aku berjalan agak lambat karena tubuhku belum benar-benar pulih setelah terjatuh. Ia mencapai puncak tangga lebih dulu dan menyemangatiku. Aku melambaikan tangan seraya menaiki anak tangga itu dengan pelan. Saat mencapai anak tangga terakhir, Venna mengulurkan tangannya dan meraihku.

Setelah melewati tangga yang cukup curam tadi, kami menuju jembatan kayu yang membentang puluhan meter di atas permukaan tanah. Cuaca membuat jembatan itu sedikit diselimuti kabut. Venna tertarik untuk menyeberang, tetapi aku tak yakin di tengah kondisi seperti ini. Apalagi kondisi tubuhku yang membuatku semakin enggan kesana.

"Aku tahu kamu masih sedikit sakit!  Aku pegang tangan kamu. Ayo!" ajaknya penuh antusias.

"Venna, jembatannya agak berkabut. Bahaya kalau tiba-tiba hujan. Kita bisa lihat-lihat pemandangan dari cafe atau gardu pandang."

"Tapi aku pengen banget kesana." Venna menunjuk ke seberang. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin melakukannya.

"Kalau begitu aku tunggu disini. Kamu bisa balik setelah ambil foto."

Venna kemudian melangkahkan kakinya ke jembatan itu. Berjalan pelan dan melihat sekeliling. Sesekali berbalik dan tersenyum ke arahku. Sementara aku tak melangkahlan kaki sedikitpun dari tempatku berpijak. Hujan deras seketika turun saat Venna masih menyusuri jembatan. 

Aku memberitahunya untuk kembali namun Ia tak bergeming. Berulang kali kupanggil namanya namun Ia seolah tak mendengarku. Akhirnya kucoba menginjakkan kaki ke jembatan itu, dan sedetik kemudian kepalaku terasa sangat sakit hingga aku tak merasakan apapun lagi.

Aku menemukan diriku terbaring di ruang perawatan dengan luka di kepala yang masih basah. Seorang perawat masuk dan memberitahuku bahwa aku baru saja melewati masa kritis selama dua jam, dan aku telah dipindahkan ke ruang umum setelah kondisiku membaik. Kejadian itu terasa sangat nyata, bayangan Venna begitu membekas di pikiranku. 

Sekarang aku menyadari bahwa aku terluka cukup parah karena kecelakaan itu. Saat berada di batas antara hidup dan mati, aku bertemu Venna yang berusaha mengucapkan selamat tinggal padaku ataukah ingin membawaku pergi bersamanya.

Ia telah meninggal dua minggu lalu karena serangan jantung, tepat sehari sebelum pergi ke Amerika. Ia tak pernah kesana, tak sempat mengukir momen terakhirnya bersamaku, ataupun mengucapkan selamat tinggal.

Keraguanku untuk tidak menyeberang jembatan itu adalah pilihanku untuk tetap hidup, untuk tetap berada disini dan memilih membiarkannya pergi sendiri, karena sudah seperti itulah jalannya.

Takdir memang memisahkan kami, tapi tidak dengan hati kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun