Dan perempuan diyakinkan dengan banyaknya iklan produk fashion dan kosmetik bahwa mereka akan cantik mempesona bila memerahkan bibirnya dengan lipstick A, atau akan tampak bercahaya dan molek bila memutihkan wajah dan tubuhnya dengan krim pemutih B. Dan rambut sebagai mahkota akan tampak lembut berkilau jika direbonding dan diwarnai dengan produk kosmetik rambut C. Bahkan banyak dari perempuan yang kepercayaan dirinya perlu disangga oleh implantasi silikon di bagian-bagian organ femininnya, bedah plastik dan suntik botox yang menelan biaya yang tidak murah. Karena penafsiran cantik pada umumnya adalah body atau bentuk pinggul yang bak gitar Spanyol, pipi bak pauh dilayang, mata bak bintang kejora, rambut bak mayang terurai, bibir merah bak delima merekah atau alis yang bak semut berbaris yang dalam istilah Jawa;' irunge mblongkang semende', 'mripate mbawang sabungkul', 'lambene nyigar jambe', 'untune miji timun', lan 'rambute ngandhan-andhan'....dan masih banyak ungkapan untuk melukiskan makna cantik dan feminin. Dan setiap mata memandang, pasti akan terpesona dengan gemerlap fisik perempuan. Padahal secara alami, gemerlap fisik seorang perempuan adalah layaknya gemerlap riak-riak air di danau yang memantulkan cahaya bulan saat purnama.
Dalam pandangan ini, yang menentukan keindahan air itu adalah sinar bulan dan bukan air itu sendiri; apalah artinya riak air tanpa cahaya bulan? Dan pada hakikatnya, bukankah sinar bulan berasal dari pantulan sinar matahari?
Jika seseorang terpesona memandang riak air di danau seraya berteriak kagum:
"Lihat air itu, alangkah indahnya!" maka hal yang wajar dilakukan. Tetapi jika seseorang memandang riak air di danau seraya berteriak: "Lihat sinar matahari itu!" pasti dia akan dianggap gila dan tidak normal. Padahal sebenarnya mataharilah yang paling layak dan berhak untuk dikagumi karena dia sumber kekuatan yang bisa memancarkan keindahan riak air di danau.
Jadi, gemerlapnya fisik perempuan adalah kegemerlapan terlemah, karena ia sepenuhnya bergantung pada cahaya jiwa perempuan itu sendiri. Sedangkan cahaya jiwa perempuan itu bergantung sepenuhnya pada kesanggupannya memantulkan cahaya keilahian. Maka, bagaimana mungkin perempuan-perempuan itu rela menghamburkan uangnya HANYA UNTUK MENGAGUMI KELEMAHANNYA SENDIRI??
Semoga kita selalu bersyukur! ***** Kemayoran20110906
Salam Cantik,
Malika D. Ana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H