Mohon tunggu...
Malika D. Ana
Malika D. Ana Mohon Tunggu... profesional -

Penggiat Kelompok Diskusi ISACS: Institute Study Agama dan Civil Society & Indoprog (Indonesia Progress)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bal-Balan Politik

28 Mei 2011   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:06 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protected by Copyscape Duplicate Content Protection Tool

Pertama, saya menyesalkan sikap dari komplotan statusquo (ini sama artinya dengan kata 'Gerombolan 78' ala Cocomeo News) yang tidak mau legowo untuk menyerahkan kursi-kursi yang mereka duduki di PSSI ke orang lain. Bukti yang ada sudah di depan mata. Kita lihat calon ketua umum PSSI, belakangan ini semakin tercium aroma statusquo. Achsanul Qosasih, Agusman Effendy, dan lain-lain adalah antek setia era Nurdin Halid. Pun demikian dengan anggota Exco. Mayoritas suara yang didapat lebih besar untuk komplotan statusquo macam Iwan Budianto, Yosep Erwiyantoro, dan lain-lain.

Yang membuat saya penasaran, bagaimana seorang Agum Gumelar bisa disetir oleh kelompok tertentu? Lebih penasaran lagi dengan alasan Agum adalah alasan Agum untuk mengganti 5 anggota Komite Normalisasi dengan alasan terlibat LPI (Liga Primer Indonesia), namun pada kenyataannya LPI, pada surat FIFA, harus dirangkul oleh Komite Nasional. Hal ini menguatkan asumsi bahwa dengan kelompok statusquo masih berniat dan masih mencari cara untuk tetap berada di tubuh PSSI.

Kedua, penolakan kandidat Arifin Panigoro dan George Toisutta jelas tak bisa dijadikan alasan untuk tak bisa bersaing di panggung bursa Ketua Umum PSSI. Kalau berkaca pada statuta FIFA, tidak pernah ada ceritanya seseorang yang "menciptakan" liga breakaway, ditolak untuk menjadi calon ketua umum sebuah federasi, di manapun itu berada. Justru jika kita melihat pada negara-negara yang pernah menciptakan liga breakaway seperti Australia, Inggris, dan Jepang, FIFA akan menyoroti kinerja federasinya. Apa yang salah dengan federasi tersebut, sehingga menimbulkan rasa tidak puas oleh anggotanya dan membentuk liga breakaway. Namun kenapa tidak bisa terjadi di Indonesia? Justru seorang Nurdin Halid pun terkesan dilindungi FIFA walaupun saat itu jelas-jelas melanggar statuta FIFA dengan memimpin PSSI dari balik jeruji besi.

Dan dalam catatan saya George Toisutta, tidak termasuk orang yang terlibat dalam liga breakaway (LPI). Nama George Toisutta baru mencuat ke permukaan selama 4-5 bulan terakhir ini. Tidak pernah ada ceritanya GT mengurusi LPI. Namun, pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat FIFA sekelas Thierry Regenass itu saya pikir cukup menimbulkan suatu tanda tanya besar. Bahkan yang bisa membuat saya geli adalah, Regenass yang notabene pejabat teras di FIFA, seharusnya cukup hafal tentang pasal-pasal Statuta FIFA dan Electoral Code FIFA pun tidak bisa memberikan jawaban tentang statuta mana dan electoral code bagian mana yang dilanggar oleh pasangan GT-AP. Dan Regenass hanya garuk-garuk kepala. Lalu mantan pimpinan Kopassus seperti Agum menghentikan kongres secara sepihak dengan alasan yang konyol : tidak kuat lagi menghadapi peserta kongres yang menuntut haknya dipenuhi.

Skenario selanjutnya, ini yang perlu kita waspadai. Kelompok statusquo yang diback up oleh sebuah partai besar, kali ini mulai menggiring opini publik lewat media-media yang dimilikinya untuk memusuhi K78 yang berniat menghilangkan segala kekotoran yang ada dalam tubuh PSSI. K78 yang semula berniat untuk merevolusi PSSI, dan mencegah agar akar-akar dari komplotan Nurdin tidak kembali merajai PSSI, kini malah diputarbalikkan faktanya menjadi sebuah kelompok yang perusak, sok reformis, dan terkesan perusuh serta pemecah belah sepakbola nasional. Penggiringan opini publik ini tampaknya akan menuju ke sebuah keberhasilan di mana saat ini banyak tokoh mulai simpatik ke salah satu televisi yang dimiliki salah satu orang yang mencalonkan diri maju ke Pilpres 2014. Beritanya mulai tidak berimbang, bombastis, dan provokatif. Menggelar talk show pun yang diundang adalah orang-orang yang pro terhadap pemberitaan mereka. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, masyarakat kini mulai diajak untuk memusuhi K78, menjadikannya sebagai public enemy, memusuhi Arifin Panigoro dan George Toisutta yang pernah jadi orang yang membuka pintu masuk kepada kita untuk merevolusi PSSI dengan dalih tidak legowo, terlalu ambisius, dan lain-lain.

Maka menjadilah K-78 sebagai pubic enemy yang selalu dikaitkan dengan yang namanya sanksi. Padahal tuntutan sanksi itu bagi saya sama sekali tidak mendasar karena tidak ada sama sekali pasal Statuta FIFA maupun Electoral Code FIFA yang dilanggar Indonesia.

Saya menganalogikan sanksi itu seperti menakut-nakuti anak kecil tanpa memberikan alasan logis yang jelas; misalnya: “adik jangan main jauh-jauh lho ya, bahaya!” Dan media pro statusquo terus-terusan menggembar-gemborkan sanksi....sanksi sanksi....seolah-olah sanksi itu ‘momok’ menakutkan dan penyebabnya adalah gerombolan pengacau K78. Aneh!!! Betul-betul aneh bin ajaib! Ada yang bilang di televisi; “demi kepentingan bersama sebaiknya kelompok 78 mundur!”......Kepentingan bersama siapa? Lalu mereka beralasan; kalau sanksi benar-benar dijatuhkan, kasihan rakyat dong! Mereka tak bisa jualan kaos, jualan bakso, dan lain-lain....hahaha...sangat lucu! Toh saya lihat, para penjual kaos maupun bakso sehari-hari juga bisa jual kaos di sekitar stadion atau pasar rakyat di Tugu Pahlawan. Lalu yang disebut kepentingan rakyat itu yang mana? Rakyat yang mana? Setelah puas menakut-nakuti rakyat, Agum Gumelar tampil sebagi pahlawan yang seolah-olah menjadi pendekar yang meloby FIFA supaya tidak menjatuhkan sanksi. How smart!

Lebih tidak logis lagi karena K78 tidak sopan, melontarkan kata-kata kasar pada utusan FIFA dan tidak beretika. Maka kalau boleh dijawab: ini kan bukan KONGRES ETIKA! Memang hal ini kelemahan K78 tapi apa yang mereka lakukan tidak pernah menyalahi statuta FIFA.

Dari sejumlah Negara yang pernah mengalami sanksi FIFA, penyebab jatuhnya sanksi karena: (1)    pelanggaran statuta (2)    intervensi pemerintah

Dan sebenarnya, masalah sanksi itu masalah lobi saja. Di tahun 2007, sewaktu Nurdin Halid menjabat dari balik jeruji besi, seharusnya Indonesia terkena sanksi. Tetapi karena lobi-lobi yang kuat dari kelompok Nurdin, maka sanksi itu tidak terjadi. Bahkan kemarin sewaktu Pemerintah melalui Menegpora ikut mengintervensi PSSI, seharusnya juga kan kita kena sanksi. Tapi nyatanya? Nothing!!

Padahal, jika toh memang kita disanksi FIFA, maka gugatan CAS (Komite Arbitrase Olahraga) akan masuk, yakni menggugat FIFA sebesar 500 juta Euro per hari. Tentunya FIFA juga tidak bodoh dengan sembarangan memberi sanksi untuk Indonesia karena benar-benar tak ada aturan yang dilanggar. Bahkan FIFA sendiri yang melanggar aturan tersebut dengan menolak pencalonan GT-AP tanpa dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun