Mohon tunggu...
Alma Liana
Alma Liana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka hal-hal tentang sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pasar Senthir, Proyeksi Mesin Waktu di Yogyakarta

1 Desember 2023   21:52 Diperbarui: 1 Desember 2023   22:21 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melempar Pengunjung Menuju Masa Kini Hingga Masa Lalu

Bak harta karun yang tidak sekedar menyembunyikan tumpukan emas namun juga permata, Yogyakarta dan pesonanya tidak sekedar berhartakan budaya namun juga destinasinya yang memikat—dimana kali Pasar Senthir yang menjadi tokoh utamanya. Menginjakkan kaki di pasar yang tersohor ini, netra kita akan berbinar dan dompet berseru ingin dikosongkan saat melihat ratusan ragam bekas nan antik dijual di seluruh penjuru mata angin.

Untuk menemukan Pasar Senthir, setidaknya pada pukul 7 hingga 11 malam kita wajib menelusuri Jalan Malioboro di sisi selatan hingga menemukan Pasar Beringharjo. Bapak Margiyo adalah salah satu golongan tua yang telah berdagang lebih dari satu dekade. “Pasar Senthir itu asal muasalnya hanya populer di kalangan warga Yogyakarta maupun para kolektor barang bekas karena setiap malam para pedagang selalu mengunakan penerangan senthir tujuannya supaya para pembeli bisa melihat barang yang dijual. Dulu kan cari minyak tanah gampang, maka dari itu pedagang menggunakan Senthir untuk penerangan di lapak,” tuturnya dengan antusias.

Shinta, gadis mungil berusia 9 tahun selalu menunjukkan batang hidungnya setiap malam di lapak yang berbeda, sekedar menemani orang tuanya berdagang; Atik dan Muryadi. Keluarga kecil ini menarik perhatian saya karena buku dan sepatu bekas yang mereka jual sama sekali tidak dilirik oleh pengunjung yang lalu lalang. “Jualan gini laku atau tidaknya tergantung barangnya. Kalau ada barang yang agak bagus, setidaknya empat puluh ribu bisa saya dapat. Namun yang paling penting, tetep ramah. Kuncinya adalah jadi penjual yang ramah,” imbuh Muryadi sebelum ia melanjutkan aktivitas merenungnya.

Tidak hanya keunikan barang bekas yang dijual, para pengunjung tampil eksentrik hingga kemencolokan mereka membuat Pasar Senthir berwarna di bawah penerangan yang tidak seberapa, seperti salah satunya bagaimana sosok pria berpakaian layaknya dukun, bersurai panjang, dan lengkap dengan atribut beberapa cincin yang melingkari jarinya—hendak menambah koleksi cincin akik bekas untuk meramaikan jemarinya. Pasar Senthir semakin menunjukkan eksistensinya dengan adanya perubahan masa, dimana dulunya hanya pengunjung dengan dompet tipis yang berkunjung—namun kini sekelompok masyarakat menengah tertarik untuk menyaksikan masa lalu melintas di mata mereka melalui Pasar Senthir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun