Guru merupakan seorang pemegang kedudukan penting dalam proses pendidikan. Sejak zaman dahulu ia menjadi referensi pendidikan bagi para pribadi terdidiknya. Ia mengajarkan pedoman hidup dan ilmu-ilmu mengenai realitas dunia untuk mengembangkan kemanusiaan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh pribadi yang terdidik merupakan cerminan dari tindakan gurunya. Dari sini lah timbul permainan kata dalam bahasa Jawa, guru iku digugu lan ditiru yang artinya guru itu dipatuhi dan diikuti.
Jika mengikuti konsep tersebut, guru menjadi tolak ukur pencapaian tujuan dari pendidikan yang telah berkembang mengikuti arus perkembangan zaman. Pendidikan yang pada zaman dahulu hanya bisa diperoleh oleh para kaum terbebas, kini dapat diakses oleh setiap lapisan masyarakat. Bentuknya terus berubah, namun substansinya tidak banyak berubah. Sejak dahulu pendidikan merupakan kegiatan penyampaian materi pedoman suatu tindakan manusia dalam menanggapi realitas dunianya.
Menurut W. Jaeger, arti pendidikan dapat dirunut dari arti kata Paideia yang secara harfiah adalah pengasuhan anak. Meski begitu, istilah yang telah dianut oleh orang yunani kuno tersebut tetap memiliki arti yang lebih luas sebagai suatu corak karakter yang melingkupi segala bentuk keunggulan dan keutamaan. Pendidikan pun dikaitkan dengan suatu usaha pembangunan karakter yang ideal dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Dari sini timbul pula ungkapan dari Driyarkara, “memanusiakan manusia” sebagai tujuan dari pendidikan.
Dalam konteks dunia sebelum zaman pencerahan, pendidikan hanya diberikan bagi para kaum terbebas. Mereka yang memperolehnya dibentuk untuk menjadi seorang pemimpin yang ulung dalam masyarakat. Orang yang terididik merupakan pribadi yang memiliki karakter yang unggul dan berkeutamaan. Merekalah kaum bangsawan yang melalui keutamaannya tersebut memperoleh pengakuan dan kehormatan dari masyarakatnya. Pembatasan pendidikan ini terus bergulir dalam Liberal Arts yang arti harafiahnya merupakan kemampuan orang bebas.
Semenjak zaman Renaisans, pendidikan yang memiliki arah pada profesi dan pekerjaan mulai berkembang. Pendidikan ini sebenarnya telah termuat dalam kurikulum Liberal Arts orang-orang bebas, namun pada zaman tersebut orang-orang awam mulai merasakan pendidikan tersebut. Pada zaman itu pula pendidikan yang mengarah pada keutamaan manusiawi masih menjadi fokus, namun arah baru pendidikan tersebut nantinya akan sangat berkembang di zaman modern. Pendidikan bukan lagi merupakan proses pengejaran nilai-nilai keluhuran, namun sebagai proses pematangan diri untuk suatu profesi. Meski berubah, penghargaan masyarakat terhadap suatu capaian akademis masih bisa terasa pada zaman modern ini. Gelar dan pencapaian menjadi cerminan kualitas pendidikan seseorang dan suatu institusi pendidikan. Pengakuan masyarakat masih menjadi kebiasaan bagi masyarakat. Gelar-gelar yang diperoleh kerap memberi keuntungan tersendiri bagi orang-orang yang telah menerimanya.
Berita dalam koran kompas berjudul “Tergoda Jalan Pintas, Gadaikan Integritas” yang terbit pada 11 Februari 2023 yang lalu menyingkap tabir lain dunia pendidikan yang sudah berubah arah. Beberapa oknum dosen mengejar gelar dan kenaikan pangkat melalui layanan joki karya ilmiah. Kebijakan yang mewajibkan dosen untuk menerbitkan karya ilmiah yang tercantum pada Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Profesor membuat layanan joki karya ilmiah menjadi sangat populer. Dosen yang berpangkat lektor kepala perlu memenuhi poin tertentu untuk mempertahankan tunjangan profesinya. Profesor yang dalam tiga tahun berturut-turut tidak menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional dapat kehilangan tunjangan kehormatannya. Hal ini tentu mengancam kedamaian oknum dosen dan profesor yang tidak rajin memenuhi “kriteria” tersebut.
Praktik penerbitan karya ilmiah dalam lingkungan dosen pun memiliki beberapa bentuk. Ada yang membayar sebuah lembaga untuk mengerjakan karya tulisnya. Ada yang membayar agar nama dosen terkait tercantum sebagai penulis pertama pada suatu penelitian yang tidak dibuatnya. Ada yang memesan artikel sesuai spesialisasi dosen yang bersangkutan kepada sebuah lembaga agar dapat dibantu hingga karya ilmiah terbit di jurnal. Pola lain, dosen menyerahkan rancangan kepada penyedia jasa untuk diserahkan kepada pihak yang terbiasa membantu penerbitan ke jurnal. Selain itu ada juga yang membayar agar nama dosen terkait otomatis tertulis pada suatu artikel. Hal ini membuat para dosen tidak perlu meluangkan waktu dan energi mereka untuk melakukan penelitian, riset, dan penulisan karya ilmiah.
Melihat realita tersebut, konsep guru yang digugu dan ditiru menjadi kacamata untuk melihat bahwa fenomena ini merupakan suatu ancaman serius bagi dunia pendidikan. Bila gurunya saja bertindak curang, apalagi para muridnya? Bagaimana seorang dosen bisa memberi proyek karya ilmiah kepada pada mahasiswanya bila dia sendiri tidak rajin membuatnya? Praktik penggunaan layanan joki karya tulis ini tidak hanya mencoreng integritas para dosen, namun juga kredibilitas dosen terkait. Para pendidik diandaikan memiliki kemampuan yang lebih daripada pada orang-orang yang didiknya. Bagaimana bisa seseorang yang tidak tahu jalan bisa menunjukkan jalan yang benar?
Dalam artikel lain berjudul “Perjokian, Fenomena Buruk yang Diabaikan” disebutkan pula bahwa karya ilmiah hasil perjokian pun sulit diidentifikasi. Ada beberapa sistem yang telah dibuat namun belum bisa benar-benar melawan kecerdasan para joki. Sistem kenaikan pangkat dosen pun masih menuntut kecepatan sehingga para dosen tidak fokus pada proses pengerjaan karya tulis. Beberapa oknum dosen pun bermain-main dengan sistem yang ada untuk bisa memperoleh kenaikan pangkat.
Di satu sisi dapat dilihat kalau para oknum joki tersebut justru memiliki modal dan kemampuan yang melebihi para dosen. Pergeseran arah pendidikan yang awalnya merupakan proses humanisasi menjadi sekadar menciptakan pekerja profesional benar-benar terasa. Pendidikan menjadi syarat untuk bertahan hidup di jaman ini dan manusia pun seolah-olah tidak bebas lagi karena pendidikan. Padahal dalam Liberal Arts, pendidikan khusus yang diterima oleh para kaum elite merupakan salah satu ekspresi kebebasan mereka, bukan karena keterpaksaan dan tuntutan untuk menjadi seorang pemimpin.
Berpangkal dari permasalahan tersebut, rasa-rasanya arah awal pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia dan mempertahkan martabatnya perlu diutamakan lagi. Perlu ditanamkan kepada para pengajar dan yang diajar bahwa proses pendidikan yang mereka jalankan bukan sekadara usaha untuk menciptakan pekerja atau syarat untuk bertahan hidup di zaman ini. Pendidikan merupakan pilihan bebas seseorang untuk menjadi semakin manusiawi.
Ada juga kemungkinan kalau permasalahan yang terjadi merupakan kesalahan murni para penyedia joki. Namun, bukan untuk membela para penyedia joki, perlu disadari pula bahwa dunia modern ini memang penuh dengan tawaran. Seorang tenaga pengajar perlu memiliki self drive dan kedewasaan yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant mengenai pencerahan, orang yang dewasa merupakan orang yang dapat menggunakan akal budinya secara mandiri dan tidak tergantung pada bimbingan orang lain. Penggunaan layanan joki karya tulis menjadi cerminan yang kuat betapa kedewasaan para pengguna layanannya masih sangatlah rendah. Oleh karena itu para guru yang sepatutnya digugu dan ditiru perlu memiliki bekal intelektual dan kedewasaan yang baik. Etika para guru pun perlu dipertahankan agar para murid bisa benar-benar terarah kepada proses memanusiakan manusia. Meskipun pada zaman ini peran guru bukan lagi menjadi referensi ilmu pengetahuan dan setiap orang dapat mengakses sumber-sumber ilmu pengetahuan, peran guru masih sangatlah kuat untuk menuntun para muridnya untuk mengarah kepada esensi pendidikan itu sendiri.
Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H