(Gambar Lukisan Ghaitsa Zahira Shofa)
Mengawali cerita 'Terkadang' ini, berasal dari pengalaman salah seorang Sahabat, Ustadzah, Hafizhah, Motivator, Inspirator dan Ulama yang sangat takut pada Allah. Namanya Ghaitsa Zahira Shofa, tiada orang yang melihat dan mendengarnya kecuali takjub, takjub dan takjub. Itu yang saya Alami, mari kita simak kisah hikmahnya.
Terinspirasi dari sebuah buku yang mengisahkan masyarakatnya selalu berinteraksi dengan Alquran, saya penasaran. Dimana tempat ini? Ingin sekali saya berkunjung ke sana. Walau dalam keadaan hamil muda anak kedua, tapi tak apalah. Saya tetap ingin pergi belajar ke sana bersama suami, dan jagoan pertama kami. Akhirnya ketika dicari tahu, ternyata cerita di dalam buku ini berasal dari negeri Yaman.
Berdoa pada Allah semoga dimudahkan niat baik untuk belajar dan juga berwisata, Alhamdulillah Allah beri kesempatan kepada kami untuk mengunjungi tempat tersebut, Tarim, Hadhramaut, Yaman.
Tempat ini bisa dibilang perkampungan. Kadang ada listrik, kadang ada sinyal, dan kadang ada bahan bakar. Semuanya terkadang. Namun dengan keterbatasan ini, membuat kami lebih mudah jauh dengan gadget. Yaman susah untuk hal duniawi, sangat terbatas, sehingga banyak waktu luang yang dapat digunakan untuk menghafal Alquran.
Saya pun merasa demikian. Ketika di Bandung, terkadang masih penasaran untuk sesekali membuka media sosial, cek apa yang sedang update saat ini, dan mencari berbagai informasi yang lainnya. Namun ketika di Yaman, sinyal sangat susah. Ketika ada pun hanya bisa untuk membuka WhatsApp saja, setelah itu sinyal hilang lagi dan selalu begitu. Dan akhirnya saya bersyukur, karena hal itu kami jauh dari perbuatan sia-sia, sehingga hubungan kami dengan keluarga baru di Yaman, terasa lebih dekat.
Suasana yang kondusif membuat orang-orang di sini begitu akrab dengan Alquran, hadis, dan kitab lainnya. Bahkan dianggap aneh, jika ada insan yang tidak hafal Alquran. Wanita di sini semuanya memakai cadar, dan saya pun menyesuaikan dengan kebudayaan mereka. Bahkan sedang bertani sekali pun, mereka tetap tertutup. Dari kejauhan, saya dan suami ingin mencoba mengambil gambar, lalu wanita tersebut tersadar dan tak mengizinkannya dengan memberi isyarat, ini sungguh menakjubkan.
Kami tinggal di sebuah rumah Syekh yang begitu hangat menerima kami. Istrinya begitu lembut, melayani dengan setulus hati. Masakannya enak dan begitu memuliakan tamu. Ah, akhlak dan pribadinya sangat mencerminkan Alquran.
Malam hari, sensasi Gelap Gulita mulai dirasa. Kalau di Bandung pernah juga, tapi sangat jarang, ketika mati listrik saja. Namun di sini, hampir setiap malam tidak ada listrik. Masyarakat menggunakan lampu minyak sejenis damar, untuk membantu penerangan. Ketika siang, anak-anak sekolah. Dan ketika malam, mereka menghafal Alquran.
Disana, kami berkendara dengan sepeda motor. Lalu satu waktu, kami ingin berkunjung ke suatu daerah. Ketika suami akan menyalakan sepeda motor, ternyata  bahan bakarnya habis. Karena bahan bakar terbatas, ia harus mengantre sejauh 4 Km di Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Dan yang membuat suami kagum, para laki-laki yang sama-sama sedang menunggu bahan bakar tersebut, waktu mereka dimanfaatkan untuk menghafal Alquran, hadis, dan kitab lainnya. Tak ada yang menunggu sambil melakukan hal yang sia-sia, atau menggerutu, apalagi marah-marah.
Sudah sekitar 5 jam menunggu, perlahan antrean panjang ini tinggal 20 sepeda motor. Namun tiba-tiba, petugas pengisi bahan bakar bilang, "Mohon maaf, bahan bakarnya habis". Dan apa yang terjadi dengan antrean panjang lagi panas ini? Mereka pulang dengan perasaan yakin, bahwa Allah akan menolong, tak ada rasa kecewa sedikitpun dari raut wajah mereka.
Niat hati, hanya belajar untuk jeda waktu tiga sampai empat bulan. Tapi karena janin di perut ini yang terus membesar, akhirnya kami mengambil keputusan untuk menunda kepulangan sampai saya melahirkan.
Seperti kehamilan pertama, saya ingin melakukan pemeriksaan ke dokter. Dokter di sini sangat jarang, bidan pun bukan bidan medis, hanya orang yang bisa dan terbiasa membantu persalinan. Sambil menunggu antrean pemeriksaan, saya berada di samping dua wanita yang sedang melangsungkan percakapan. Terdengar, dari awal sampai akhir pembicaraan hanya tentang Allah, Alquran dan Kitab lainnya. Tidak ada perkataan sia-sia, apalagi mengunjing. Sangat jauh berbeda dengan khalayak pada umumnya.
Setelah selesai pemeriksaan, untuk memperkuat janin yang ada di dalam rahim, dokter memberikan resep berupa buah Kurma dan Zaitun. Hal ini mengingatkan kembali pada kisah di jaman Rasulullah SAW., bahwa Kurma dan Zaitun adalah obat herbal yang banyak mengandung khasiat.
Sama halnya dengan wanita pada umumnya, saya yang berusia 24 tahun ini, tetap menginginkan kehadiran Ibu untuk menemani persalinan. Menghubungi Ibu di Bandung, Alhamdulillah Ibu dengan senang hati bersedia untuk datang ke Yaman. Padahal, jarak dari pusat kota ke tempat kami masih cukup jauh, sekitar empat sampai lima jam. Â
Menjelang persalinan, tak terduga ternyata ada rencana Allah yang lain. Tiba-tiba Ibu memberi kabar bahwa pinggangnya begitu sakit, tak mungkin untuk melakukan perjalanan jauh. Dan akhirnya, Ibu tidak jadi datang. Hal ini membuat saya cukup sedih, karena kehadirannya begitu diharapkan.
Sampai saat waktu untuk melahirkan tiba, saya dan suami sudah menunggu di ruang persalinan. Namun ternyata, dokter menyampaikan tidak boleh ada laki-laki walaupun itu suami, karena ruangan ini dikhususkan untuk perempuan saja, termasuk seluruh tim medis yang menangani persalinan. "Untuk yang menemani cukup ada Allah, Dokter dan Bidan", sahutnya. Ya Allah, memang betul bahwa Engkau selalu ada, tapi saya baru ke negeri ini, dan harus melahirkan seorang diri?
Dengan terus berusaha untuk memberanikan diri, saya teringat oleh kisah mulia Siti Maryam yang berada dalam Alquran. Tenang, ada Alquran sahabat setia, dan ada Allah yang selalu ada. Kisah Siti Maryam sangat jauh dengan kondisi saya saat ini. Bahkan, ia mampu melahirkan seorang diri, betul-betul seorang diri tanpa bantuan medis. Di bawah pohon kurma, bukan di Rumah Sakit. Iya, kalau Siti Maryam saja bisa kenapa saya tidak?
Sambil menunggu pembukaan, Dokter dan Bidan terus membaca Alquran yang berada dalam ingatannya. Bukan musik klasik dan sebagainya. Seketika terasa aliran darah begitu lancar dan saya melahirkan dengan mudah. Setelah bayi dibersihkan dan kondisi saya cukup baik, pada hari itu juga saya bergegas untuk pulang. Karena ruang perawatan yang sangat sedikit, sehingga akan dipakai untuk pasien selanjutnya. Tapi tak mengapa, karena saya ingin segera bertemu suami untuk memberi kabar baik ini pada orang tua di Bandung.
Saat usia anak kedua kami genap satu bulan, saya dan suami memutuskan untuk pulang. Malaikat cantik itu, kami beri nama Khadijah. Di rumah, begitu banyak yang merindukan kami. Tak rindu bagaimana, rencana hanya 3 sampai empat bulan, menjadi hampir satu tahun. Sesampainya di rumah, anak kami dicium, digendong, dan banyak keluarga yang ingin bergiliran mendapatkan kesempatan yang sama.
Kembali ke Indonesia, ternyata ujian untuk menikmati fasilitas lengkap kembali ada. Ingin kembali membuka media sosial, gadget, begitu menantang. Harus lebih berjuang lagi, mencoba dekat dengan Alquran lagi, tak semudah waktu di Yaman dulu yang kondisinya lebih kondusif karena jarang sinyal dan jarang listrik. Boleh ada hiburan dunia, tapi harus fokus sahabat utama, Alquran. Itu yang saya camkan dalam diri.
Sekitar kurang dari satu bulan kembali ke Indonesia, anak kedua yang lahir di Yaman, tiba-tiba mengalami susah tidur. Usianya kini menginjak 56 hari. Dua hari ini, saya dan suami bergiliran terjaga untuk menemaninya. Khadijah baru berhenti menangis, jika orangtuanya membacakan Alquran. Dan ketika kami tertidur, dia menangis lagi, seolah ingin ditemani.
Pada akhirnya, Khadijah yang tengah berada dalam pangkuan mengalami kejang. Matanya melihat ke atas dan seperti merasakan sakit yang begitu sakit. Seketika kami bawa ke klinik, namun klinik bilang harus di rujuk ke Rumah Sakit. Sesampainya di sana, Khadijah langsung ditangani tim medis. Setelah ditangani kurang dari 60 menit, ternyata nyawa Khadijah tidak tertolong.
Kepergian Khadijah meninggalkan isak tangis keluarga, terutama bagi orang tua saya yang begitu merasa kehilangan. Sebagai sahabat sejati, kembali saya membuka Alquran untuk penghibur hati, bahwa setiap yang bernyawa pasti meninggal dunia. Kalau saya tidak kembali membuka Alquran untuk mengingat kasih sayang Allah, mungkin sikap saya pun akan seperti orang tua pada umumnya, yang cukup histeris karena ditinggal anak pergi.
Kejadian ini, saya jadikan sebagai introspeksi diri. Melihat secara langsung anak sekarat dalam pangkuan, cukup menjadi pecut bagi diri. Anak kecil saja merasakan sakit, bagaimana kami? Astagfirullah. Di lain sisi saya pun bahagia, karena Khadijah masih kecil belum punya dosa. Dia sudah pasti masuk surga, sedangkan saya sebagai Ibunya belum tentu. Sekarang tugas saya dan suami adalah, bagaimana bersikap dan bertingkah laku di dunia ini, supaya saya dan suami dapat kembali bertemu Khadijah di surga nanti. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H