Di era digital yang semua serba sosial media, tidak asing dijumpai pertikaian antara satu orang dengan orang lain beserta netizen yang turut ambil bagian, atau pertikaian antara public figure dengan netizen.
Tidak jarang hal ini lantas menjadi isu yang hangat diperbincangkan oleh orang-orang baik dalam platform sosial media yang sama, platform lain, bahkan portal berita.
Dalam peristiwa seperti ini netizen seringkali menjadi sosok jahat yang siap memburu siapapun dengan label "netizen maha benar". Namun, benarkah faktanya seperti itu?
Jawabannya adalah diperlukan pengetahuan untuk membedakan antara "bullying" dan "konsekuensi" dalam menggunakan sosial media.
Bullying (perundungan) sendiri mengacu pada perbuatan yang didasari dari tiga unsur, yaitu: bersifat menyerang/mencelakai, dilakukan berulang, dan penyalahgunaan kekuatan yang tidak seimbang.
Cyber bullying memiliki pengertian yang sama hanya saja dilakukan dalam platform sosial media, game, atau ponsel. Sedangkan konsekuensi adalah akibat dari perbuatan. Dalam ilmu psikologi, konsekuensi adalah sesuatu yang timbul sebagai reaksi atas perilaku yang muncul sebelumnya.
Membedakan keduanya adalah hal yang mudah dilakukan namun memerlukan pengetahuan sebagai bekal. Ketika seseorang tidak melanggar norma atau aturan yang ada, tidak juga merugikan atau melukai orang lain namun mendapatkan celaan, hujatan, ancaman, bahkan komentar kasar dari orang lain di akun sosial medianya, maka dapat dikatakan jika orang tersebut mengalami "bullying".
Sebaliknya, ketika orang tersebut melakukan pelanggaran norma atau aturan yang ada, bisa juga melakukan perbuatan yang merugikan orang lain maka dapat dikatakan orang tersebut menerima "konsekuensi" dari perbuatannya.
Tentunya semua masih ingat dengan kasus "Justice for Audrey" di mana sekelompok siswi sekolah menengah merundung salah satu temannya hingga mengalami luka fisik dan mental.
Terlepas dari akhir cerita Audrey yang ditelisik merupakan cerita palsu, namun masih teringat jelas bagaimana netizen "mengamuk" dan membanjiri sosial media para pelaku dengan komentar marah, kasar, menasihati, bahkan dengan umpatan.
Reaksi netizen semacam ini dapat dijelaskan sebagai "konsekuensi" bukan "bullying". Para pelaku menuai rasa marah dari netizen sebagai konsekuensi karena perilakunya yang melukai orang lain, meskipun kata-kata seperti umpatan tentunya semua orang tahu itu tidak baik untuk digunakan.
Berbeda dengan kasus "orang biasa" seperti kasus Audrey di atas, kasus yang menimpa selebriti, influencer, youtuber, selebgram, dan orang yang memliki banyak followers tidak bisa dianggap sama. Orang-orang seperti mereka memiliki "power" lebih dan mengambil porsi yang banyak dalam "ruang publik" di dunia maya.
Ketika seseorang memiliki sosial media maka dia membuat ruang virtualnya sendiri, namun ketika orang tersebut memiliki banyak followers atau orang yang menonton maka ruang tersebut kemudian menjadi ruang publik, selain karena memiliki audiens sendiri, konten mereka juga membanjiri ruang orang lain.
Apapun yang dikatakan, dimuat, dituliskan, dan dibagikan di situ akan menjadi konsumsi publik. Hal-hal yang berbau publik jelas tidak menjadi milik pribadi lagi. Orang-orang akan bebas menonton, berpendapat, dan berkomentar disana.
Dikarenakan selebriti, influencer dan orang-orang tersebut mengambil porsi yang banyak dalam menguasai ruang publik maka hal yang dibagikan bukan menjadi kesenangan semata lagi bagi pemiliki akun namun juga memiliki nilai tanggung jawab.
Saat mereka membagikan konten yang memiliki unsur pendidikan publik, akan banyak orang yang mendapatkan manfaat dari informasi tersebut, sama halnya dengan endorse barang.
Namun, istilah-istilah seperti "konten sampah" bisa saja muncul karena konten yang dianggap mengganggu dan menyesatkan membanjiri ruang publik.
Biasa dijumpai dalam sosial media milik selebriti wanita yang banyak membagikan foto-foto kesehariannya kemudian dikomentari dengan komentar cantik, body goals, istri idaman, dan semacamnya. Komentar bernada pujian dari netizen ini sama halnya dengan komentar buruk bernada cacian.
Seperti kasus selebriti yang bertengkar dengan adik ibunya di televisi, keluarga selebriti yang bertengkar antara ibu dan anak di sosial media, youtuber yang melakukan prank terhadap waria, influencer yang ditegur karena mempertontonkan kemesraan yang berlebihan, influencer yang melanggar aturan PSBB dengan ikut "melayat" di depan restoran cepat saji dan bagaimana netizen bereaksi dengan membanjiri sosial media mereka dengan komentar buruk.
Kedua sisi komentar yang berlawanan ini adalah bentuk tanggapan publik atas hal, foto, atau konten yang dibagikan.
Sama halnya komentar baik, komentar buruk yang dituai adalah murni bentuk "konsekuensi" dari perbuatan yang dilakukan para selebriti dan influencer tersebut. Meskipun itu bukan benar-benar sepenuhnya berbentuk perbuatan namun konten, foto, atau drama kehidupan kurang mendidik yang dipertontonkan merupakan bentuk sampah yang disebar di ruang publik.
Tidak dibenarkan lantas mengatakan netizen maha benar hanya karna netizen bereaksi buruk terhadap "sampah" yang dibagikan meskipun sekali lagi penggunaan kata-kata kasar oleh netizen adalah tidak baik.
Perlu disadari bahwa menyingkirkan konten yang banyak tersebar ruang publik tidaklah mudah seperti menutup unggahan dari orang yang tidak diinginkan. Konten mengandung pornografi dapat dilaporkan, konten kekerasan dapat dilaporkan juga pada pemilik platform namun konten "sampah" tidak dapat dilaporkan karena tidak melanggar community guideline meskipun sesungguhnya sangat mengganggu.
Saya pribadi percaya bahwa banyak netizen yang pintar dalam menggunakan sosial media dan cukup bijak dalam memberikan komentar. Saya juga percaya masih banyak selebriti dan influencer yang masih memiliki rasa tanggung jawab atas konten yang dibagikannya.
Namun saya cukup prihatin dengan adanya propaganda "netizen maha benar" yang cukup mengganggu namun sering digaungkan oleh para penguasa ruang publik. Alangkah baiknya jika rasa tanggung jawab akan ruang publik itu dipelihara dibanding membalik fakta netizen yang memberi tanggapan.
Saya juga prihatin dengan pengguna sosial media yang membela pelaku perundungan yang sesungguhnya hanya karena alasan kemanusiaan. Saya berharap dunia maya akan menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H