Mohon tunggu...
Alma Costa
Alma Costa Mohon Tunggu... wiraswasta -

SAPERE AUDE

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Politik? Mari Belajar Lebih Kritis!

12 Maret 2014   00:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Indonesia. Ini tahun politik? Tahun kebangsaan? Apapun namanya, masyarakat saat ini dengan segala kemudahan dan kesulitannya untuk akses informasi ternyata belum cukup untuk berbenah. Lebih mudah tergiur, terlena dan terbujuk dalam ragam janji. Banyak figur tampil dan berupaya mendapatkan dukungan kendati tak ada idola yang instan. Momen kini harusnya membantu masyarakat untuk lebih cerdas dan kritis, atau jika tidak semuanya, peka saja sudah cukup. Entah cerdas dan kritis atau peka, masyarakat kini sangat perlu menyadari bahwa mereka sedang diarahkan untuk memilih dan ada yang dipilih. Sejenak berefleksi soal momen kebangsaan ini.

Refleksi ini bersumber dari kebiasaan masyarakat umum pengguna jalan. Jelas ada 2 variabel yang akan ditekankan: pola hidup masyarakat dan momen tahun kebangsaan/tahun politik 2014. Apakah masyarakat pada umumnya cukup sadar dan kritis untuk berbenah atau cukup menggelinding saja tanpa sadar? Berikut beberapa pengalaman yang dapat membantu pembaca untuk sebuah justifikasi dan menentukan posisi.

Pengalaman pertama, soal kemacetan di jalan. Hal yang ingin dilihat bukan soal macet atau padatnya jalan tetapi perilaku pengguna jalan. Kiri, menjadi patokan saat berkendara dalam arti selalu gunakan jalur kiri dan jangan meremehkan jalur kiri. Jika melambat gunakan jalur kiri, jalur kanan adalah jalur cepat. Kenyataannya terbalik, kiri cepat dan kanan lambat. Begitupun saat anda akan berbelok atau di jalan menikung, pertahankan jalur kiri dan tak usah takut dianggap orang kiri, kendati kiri adalah posisi sulit. Jangan sampai tak mau di kiri karena kanan lebih manis dalam urusan tangan? Jelang pemilihan para wakil rakyat. Banyak calon tampil dengan gaya bicara orang kiri. Jelas, tepat, tegas, tak canggung mengkritik lawan, pelan tapi pasti menarik simpati. Jika terpilih dijamin berubah (buka catatan harian sebelumnya jika anda punya). Jalur kanan untuk mendahului menjadi patokan baru untuk mendahului dan meninggalkan ragam janji, nah ini soal beri bukti bukan janji sebab terbukti mereka ingkar janji kecuali untuk orang-orang sejalur. Dari jalur kiri-kanan jalan dengan segala aturannya (pemilik SIM tentu paham dengan jelas aturan dimaksud), mari belajar lebih kritis dan peka untuk mengubah perilaku masing-masing di jalan sekaligus memantau perilaku para politisi kita jelang pemilu. Dengan begitu kemacetan di jalan dapat diminimalisir. Juga untuk momen penting bulan April mendatang agar tak terjadi “kemacetan” serupa di lembaga perwakilan rakyat karena salah jalur. Tahu, kan?

Pengalaman kedua, soal ruang untuk sepeda dan marka jalan. Ruang ini khusus untuk sepeda. Semua orang tahu bentuk sepeda. Saat ini ada sepeda-sepeda baru. Sepeda revo, sepeda jupiter, sepeda mio, sepeda avanza, sepeda jazz, sepeda fortuner yang dengan bebas menggunakan ruang itu. Pura-pura mengubah fungsi, berusaha mengalihakan fungsi, tak menggunakan instrumen sesuai fungsinya. Lalu, marka atau garis pembatas seolah tak jelas, entah, mungkin perlu dana untuk diperjelas lagi sehingga para pengguna jalan dapat melihat dengan jelas. Beberapa memang “buta” karena sedang terburu-buru ke kantor, ke rumah, ke sekolah dan ke tempat lain, ingin segera tiba di tujuan dengan mengabaikan proses menuju tujuan. Beberapa butuh cepat. Instan. Tak jarang kecelakaan di jalan seolah diciptakan. Lalu kaitannya dengan even besar tahun kebangsaan? Pengalihan fungsi dan terburu-buru oleh sebagian orang untuk suatu tujuan. Banyak orang yang tampak berpendidikan (belum tentu mengenyam pendidikan sesuai aturan), berpacu untuk menjadi wakil rakyat. Mengalihkan fungsi pendidikan, mengoptimalkan “sulap” kemudian mendapatkan ijazah dengan latar belakang ilmu untuk berpolitik. Berpolitik kemudian mudah ditafsirkan sebagai jalan para penipu atau cara belajar untuk berkelit, dan buka lagi catatan harian, banyak fakta fiksi telah terbuat tahun-tahun terakhir ini. Belum lagi mengandalkan popularitas namun tak paham politik. Bisa jadi, ini mental cacingan tampak megah di atas, rapuh di bawah. Atau rapuh di luar, subur di dalam. Berat sebelah. Ruang untuk para politisi dengan bekal pendidikan politik tergantikan dengan politisi teknisi, politisi kesehatan, politisi bisnis, ah kita kan selalu mau dan tergila-gila pada standar ganda. Tak ada ruang jelas, kalaupun jelas, fungsi ruang itu dialihkan untuk yang lain. Dari pengalaman kedua di jalan ini, dapat dikatakan sense of politics masyakakat Indonesia sangat tinggi namun tak diimbangi dengan higher intellectual standard. Sudahlah, toh semua berpartisipasi untuk itu kendati tak menggunakan ruang tertentu sesuai fungsinya. Situasi menjadi pelik saat ruang tertentu digunakan oleh orang lain, yang kuat menindas yang lemah karena salah ruang, kecelakaan lain tercipta.

Dua kebiasaan di jalan raya ini dapat juga memiliki korelasi dengan jalan menuju senayan. Pola hidup masyarakat dan momen pemilu mengerucut pada posisi dan ruang gerak politisi. Dua standar terakhir ini dapat menjadi patokan untuk menilai kelayakan mereka yang mampu menjadi wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah. Standar yang sama juga untuk pemilihan presiden nantinya. Rakyat pada umumnya sangat antusias dengan momen politik bulan depan, ini terlihat dari kebiasaan sebagian masyarakat yang selalu berbicara mengenai tokoh politik idola, visi-misi kepemimpinan beberapa tokoh dari partai tertentu dan seterusnya. Sayang sekali, sejarah beberapa tokoh yang saat ini tampil terlupakan. Belum lagi sangat diidolakan di tempat tertentu. Sebagian lagi terpana dengan popularitas calon wakil rakyat yang sama sekali tak paham tentang politik. Ibarat mampu mengendarai mobil/motor namun tak paham rambu lalu-lintas. Beberapa wakil rakyat mengusung tokoh non-Indonesia dengan seruan politiknya tanpa menyadari bahwa situasi, realitas masyarakat di sana berbeda dengan masyarakat di sini. Jelas, tak paham kebutuhan masyarakat lokal. Atau tak menguasai jalan yang sedang dan akan dilalui.

Terbersit sebuah harapan, masyarakat dapat berbenah untuk menjadi pengguna jalan yang baik, mampu pertahankan posisi jelas di jalan, tak terburu-buru, paham rambu lalu-lintas, tahu menggunakan ruang di jalan dan meminimalisir kecelakaan. Juga harapan bahwa para politisi mampu pertahankan posisi dan ideologi politiknya, tak terburu-buru menjadi wakil rakyat, paham politik dan mampu mengoptimalkan ruang publik untuk berpolitik secara fair, meminimalisir kecurangan di jalan menuju senayan juga “senayan yang lain”.

Di atas semua itu, mari menjadi masyarakat yang kritis dan peka. Jangan abaikan hak untuk memilih. Memilih itu hak bukan aturan apalagi intervensi. Mari menjadi anggota masyarakat yang kritis dan peka tanpa mengesampingkan salah satu hak sosial-politik, hak memilih juga dipilih.

AC.11/3/14

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun