Kamis malam yang terasa lebih sejuk dari malam-malam sebelumnya. Ditemani suara lagu berjudul "Ada Sesuatu" dari speaker laptopku. Ya, dua minggu lagi aku akan melakukan perjalanan, mungkin sama ada sesuatu yang membawa langkahku kesana lagi atau mungkin minggu nanti jadi minggu terakhir aku disini. Ah tunggu sajalah!. Di dalam kamar tidur, aku menatap ke arah layar Heandphone. Di hadapanku sudah terjejer 26 abjad Indonesia, tanda-tanda baca, dan emoji yang bermacam-macam, ada love, bunga, love yang retak yang sewaktu waktu bisa saja ku tekan dan ku pilih menjadi nama untuk no Heandpone yang aku ku simpan ini. Tepat pada pukul 20:15 AM, aku memilih untuk menamai no ini Aru Bodrex.
Aru Bodrex, jangankan love atau bunga mawar yang ku pilih, tanda baca  titik dua dan bintang saja tidak ku pilih untuk menggambarkan betapa aku mencintainya. Seperti kebanyakan orang, menamai kontak orang yang dicintainya dengan bervariasi.
Aku benar-benar menahan tawa. Dengan sedikit senyuman, aku bergegas ke luar dari keimajinasiianku. Bodrex? Ah... ada-ada saja. Pikirku
Dia pria yang mengidap penyakit pusing dan sewaktu-waktu bisa gila. Hal-hal yang menurutku gila dan tak mungkin aku lakukan, tapi bisa jika dengannya.
Dia memang gila. Aku memilihnya. Tapi dia selalu punya cara untuk memulihkan diri dari kegilaan yang dibuatnya sendiri. Menurut ku dia memang pria yang well rounded.
Aku memilih dia yang mampu membebaskan aku dari kerapuan hidup ini.
Sebuh whatsApp masuk ke HP ku.
From: Aru Bodrex
Orangtua itu aku anggap Tuhan, kita tidak bisa merubah
siapa Tuhan kita. Tapi kita yang bisa kita ubah, cara kita memperlakukan Tuhan kita.
Hanya ada satu  penjelasan untuk pesan yang tiba-tiba ini. Aku terkesima melihat pesan ini.
Aku merasa beruntung sudah memilihnya. Memilih dia yang tidak pernah marah bahkan bersikap kasar kepadaku. Tapi dia punya cara yang tak menyakiti hati, untuk membuat aku bisa merasa kalau ia sedang memberikan peringatan keras kepadaku.
Dia yang tak pernah bilang "kamu cantik", tapi dia yang selalu bisa jaga kecantikan seorang wanita. Dia yang tak pernah menodai namaku, tapi selalu punya cara menjaga nama baikku.
Tiba kedatanganku ke kampus mentari sudah anggun berdiri, sinarnya mencubit kulit pipiku. Aru menghampiriku yang terlihat lesu.
"kamu ngantuk?" tanyanya datar
"Ya, semalam aku begadang hanya demi menghatamkan membaca sebuah novel. Abisnya novel itu sangat keren. " jawabaku singkat sambil menahan kantuk.
" mana tu novel?! Beraninya dia buat kamu ngantuk gini. Mana dia?! dasar, aku kalah menarik darinya." Aru mencari-cari novel itu dan sedikit menatapku sambil menunjukkan muka cemberut.
Aku tertawa melihat lagak Aru yang seperti anak kecil sedang cemburu melihat ibu dan ayahnya bermesraan. Tak cukup sampai situ, dia lantas memberiku sepasang kaus kaki yang baru saja dia dapat dari seminar yang di datangainya semalam. Padahal aku tahu dia menginginkan itu, tetapi dia lebih tahu kalau aku mendambakan benda itu.
" ini ini, pakai kaus ini untuk memelekkan matamu" aku tersipu malu dan kami tertawa. Di memang gila, mana bisa kaus kaki bisa menghilangkan rasa kantukku.Dasar Aru! Dia
memang seperti obat sakit kepala yang bisa memulihkan aku dari sakit yang ku rasa semalam.
Saat kuperhatikan langkahnya yang meninggalkanku, aku segera masuk kelas. tapi selang beberapa detik di memanggilku.
"Dini... ada yang lupa"
aku langsung kembali, menolehnya. Dia mentapaku dengan tatapan khawatir dan tatapannya seolah olah mengharapkan jawaban jujurku. Sontak aku kaget sekaligus tersipu. Dia seperti mataku saja, seolah-olah tahu apa yang terjadi kepadaku semalam. Kenapa aku memilih bergadang untuk membaca novel. Ah dasar Bodrex!
" berapa liter air mata yang kamu keluarkan?". Â Katanya
" tidak cukup banyak." Jawabku singkat dan meyakinkan
" ya udah, jangan kamu ulangi lagi ya... itu bukan obat untuk permasalahamu." Jawabnya menenangkan.
"......."
"Oh ya Din, besok tanggal 25 aku dan teman-teman mau pergi loh. Kamu ikut ya, hitung-hitung kamu bisa cara obat baru untuk permasalahanmu itu. Nanti aku bahas di WhatApp ya." Tambahnya dan sambil melontarkan senyuman penuh pengharapan untukku.
Aku hanya tersenyum dan melangkahkan kakiku menuju kelas. Jujur, aku senang, dan itu tak bisa aku ceritakan. Ah, obatku. Dia pria paling mengagumkan dalam hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H